HADITS DHOIF
1.1 PENGERTIAN HADITS DHOIF
Hadits dho’if secara bahasa berarti
lemah artinyabahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Sedangkan secara istilah para ulama terdapat
perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhoif ini akan tetapi pada
dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda.
Pendapat Ulama
mengenai pengertian hadits dlo’if :
·
An-Nawawi mendefinisikannya dengan :
“hadis yang didalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”.
·
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah satu syarat
atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis
yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul
Beberapa
definisi,diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat
syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan.
2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya
dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih atau yang hasan)
3. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan
secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah hadits yang jika satu syaratnya
hilang
1.2 SEBAB- SEBAB DIKATAKAN HADITS DHOIF
Adapun
sebab dikatakan hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits
shohih dan hadits hasan yang tidak terdaoat padanya, yaitu sebagai berikut :
1. Sanadnya tidak bersambung
Sebab
Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama
adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
·
Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari
permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
·
Mursal adalah apa yang terputus dari
akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
·
Mughdhal adalah apa yang terputus dari
sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
·
Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak
tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara
khofi (tersembunyi) yaitu:
·
Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib)
pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
·
Mursal
Khofi
adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa
yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang
lainnya seperti qaala
·
Sanad yang dinisbatkan kepada Abu
bakar As-Shiddiq yaitu Ibnu musa ad-daqiqi dari farqid as-subkhi dari marrah
ath-thaibi dari abu bakar
·
Sanad orang-orang syam yaitu
Muhammad bin qaisyin al-mashlubi dari ubaidillah bin jahri dari ‘ali bin yazid
dari qasim dari abi umamata.
·
Sanad yang dinisbatkan kepada ibnu
‘abbas yaitu assudi ash-shaghiri Muhammad bin marwan dari kalbi dari abi
shalih dari ibnu abbas. Menurut ibnu hajar bahwa ini adalah silsilah dusta.
b. Kurang adilnya perawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas
2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang pertama
penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
·
Pendusta
·
Tertuduh dusta
·
Fasiq
·
Bid’ah
·
Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
·
Jelek hafalannya
·
Lalai
·
Banyak
·
Menyelisihi yang tsiqat
·
Ucapan yang menipu
c. Kurang dhobithnya perawi
Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi ada
10 macam
1.
Dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya dusta disebut hadits
maudlu'.
2.
Tertuduh dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya tertuduh dusta
disebut hadits matruk.
3.
Fasiq.
4.
Banyak salah.
5.
Lengah dalam menghafal. Hadits dla'if yang karena rawinya fasiq,
banyak salah, dan lengah disebut hadits munkar.
6.
Banyak waham (purbasangka). Hadits dla'if yang karena
rawinya waham disebut hadits mu'allal.
7.
Menyalahi riwayat orang kepercayaan. Kalau menyalahi riwayat orang
kepercayaan tersebut karena dengan penambahan suatu sisipan maka hadits ini
disebut hadits mudraj; Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut
dengan memutar balikkan, maka hadits ini disebut hadits maqlub; Kalau menyalahi
riwayat orang kepercayaan tersebut dengan menukar-bukar rawi, maka hadits ini
disebut hadits mudltharib, Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut
dengan merubah syakal – huruf, maka hadits ini disebut hadits muharraf; dan
kalau perubahan itu tentang titik-titik kata, maka hadits ini disebut hadits
mushahhaf.
8.
Tidak diketahui identitasnya (jahalah). Hadits dla'if yang
karena jahalah ini disebut hadits mubham.
9.
Penganut bid'ah. Hadits dla'if yang karena rawinya penganut bid'ah
disebut hadits mardud.
10. Tidak baik hafalannya.
Hadits dla'if yang karena ini disebut hadits syadz dan mukhtalith.
d. Ada syadz atau masih menyelisihi dengan
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dengan
dirinya
e. Ada illat atau ada penyebab samar dan
tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara zohir
terlihat bebas dari cacat.
1.3 MACAM – MACAM HADITS
DHOIF
Hadits dhoif sangat banyak macamnya,
masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu sama lain. Hadits dhoif yang memiliki
kekurangan satu syarat
dari syarat-syarat hadits shahih.
Namun hadits hasan lebih baik daripada hadits dhoif yang memiliki
kekurangan dua syarat
dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan.Dan
begitu seterusnya.
Berdasarkan
sebab-sebab di atas maka macam-macam hadits dhoif ini digolongkan menjadi
beberapa kelompok di antaranya :
Dhoif Karena Tidak
Bersambung Sanadnya
I.
KETERPUTUSAN
YANG JELAS
A.
HADITS MUNQOTHI’
a.
Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim fa’il dari kata الانْقِطَاع . Dikatakan اِنْقَطَعَ
الْحَبْلُ يَنْقَطِعُ انْقِطَاعاً فَهُوَ مُنْقَطِعٌ
maksudnya adalah jika tali itu tidak bersambung.
Menurut istilah
Ada empat buat pendapat, yaitu :
a) Yaitu
hadits yang sanadnya terputus satu rawi atau lebih sebelum sahabat, tidak
secara berurutan. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits dan inilah
pendapat yang benar.
b) Yaitu
setiap hadits yang sanadnya tidak bersambung. Ini adalah pendapat para ahli
fiqih dan ilmu ushul fiqih serta beberapa kelompok ahli hadits, diantaranya
adalah Al Khothib Al baghdadi dan Ibnu Abdil Barr.
c) Yaitu
riwayat yang disandarkan kepada tabi’in dan generasi sesudahnya, baik berupa
perkataan atau perbuatannya. Ini adalah pendapat Al Bardaiji. Ibnush Sholah
berkata : “Pendapat ini adalah aneh dan jauh dari kebenaran”.
d) Yaitu
perkataan seorang laki-laki dengan tanpa sanad bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah berkata demikian. Ini adalah Pendapat Al Kayya Al
Harrasy. Ibnush Sholah berkata : “Tidak ada orang lain selainnya yang
berpendapat demikian”.
b.
Contohnya
إِنَّ مِنْ
أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِه
“Sesungguhnya diantara
kesempurnaan keimanan seseorang adalah yang paling baik akhlaknya dan yang
paling lemah lembut kepada keluarganya”. (Ahmad dan Hakim dari jalur Abu
Qilabah dari Aisyah secara marfu’.
Dan sanadnya adalah munqothi’ karena Abu Qilabah tidak mendengar dari Aisyah).
c.
Bagaiamanakah
Keterputusan Sanad Itu Diketahui
Diketahui
dengan tidak adanya pertemuan antara perawi dan orang yang diriwayatkan
darinya, baik karena dia tidak semasa dengannya atau semasa dengannya, tetapi
keduanya tidak pernah bertemu.Yang menegaskan hal ini adalah mengtahui
kelahiran-kelahiran dan kematian-kematian para perawi.
d.
Hukumnya
Hadits ini ditolak karena tidak
diketahuinya keadaan rawi yang terbuang dari sanad itu.
B.
HADITS
MU’DLOL
a. Definisinya
Menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari إعْضَال diaktakan أعْضَلَهُ
الأمْرُ يُعْضِلُهُ إعْضَالاً فَهُوَ مُعَضَّلٌ
maknanya adalah menyulitkannya. Dan dikatakan : أعْضَلَ
الأمْرُ maknanya adalah menjadi keras dan
sulit. Dan dikatakan : أعْضَلَنِيْ فُلانٌ maknanya adalah urusan seseorang itu menyuliskan saya.
Menurut istilah
Yaitu hadits yang sanadnya
terputus dua orang perawi atau lebih secara beruntun.
b.
Contohnya
Perkataan
Imam Malik : “Telah sampai berita kepadaku dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Seorang budak itu berhak mendapatkan
makanannya dan pakaiannya dengan cara yang makruf dan dia tidak dibebani
pekerjaan kecuali yang dia mampui”. Sanadnya adalah mu’adlol.Karena Imam Malik
meriwayatkan dari Abu Hurairah melalui perantara dua orang perawi.Dan keduanya
tidak disebutkan di dalam riwayat itu”.
c.
Hukumnya
Ini
termasuk ditolak karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang tidak disebutkan
dalam sanad itu.
C.
HADITS
MURSAL
a.
Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu merupakan bentuk isim maf’ul dari kata أرْسَلَ
الشَّيْءَ يُرْسِلُهُ إرْسَلاً maknanya adalah dia memutlakkannya
dan tidak memberikan batasan.
Menurut istilah
Ada empat pendapat, yaitu :
·
Yaitu riwayat tabi’in secara mutlak langsung dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah pendapat kebanyakan para
ahli hadits, diantaranya adalah Hakim, Ibnu Sholah, Ibnu Hajar dan yang lainnya
dan inilah pendapat yang benar.
·
Yaitu irwayat tabi’in senior dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
·
Yaitu yang terputus sanadnya ditempat yang manapun
dari suatu sanad. Ini adalah pendapat para ahli fiqih dan Ushul Fiqih serta
eberapa kelompok ahli hadits, diantaranya adalah Al Khothib Al Baghdadi, Abul
Hasan bin Al Qothon dan An Nawawi.
·
Yaitu
hadits yang sahabat dibuang di dalam sanadnya. Ini adalah pendapat Al baiquni.
Pendapat ini dikritik.
b.
Contohnya
Ibnu
Sa’ad berkata di dalam Kitab Ath Thobaqot : “Waki’ bin Al Jarrah memberikan
berita kepada kami, A’masy memberikan berita kepada kami dari Abu Sholih bahwa
dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai para
manusia, sesungguhnya saya adalah rahmat yang memberikan petunjuk”. Abu Sholih
As Simani adalah seorang tabi’in.
c.
Kehujjahannya
Para ulama berselisih menjadi tiga buah pendapat,
yaitu :
·
Dapat dijadikan
sebagai hujjah secara mutlak. Ini dibatasi jika seorang tabi’in itu tidak
meriwayatkan kecuali hanya dari perawi yang tsiqoh saja. Ini
adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya, pendapat Imam Malik dan
para pengikutnya serta merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
·
Tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama
hadits, diantaranya adalah Muslim bin Al Hajjaj, Abu Hatim, Hakim, Ibnu Sholah,
Nawawi dan Ibnu Hajar.
·
Dapat dijadikan
sebagai hujjah jika memenuhi slah satu dari tiga buah kriteria, yaitu :
·
Jika
ada yang lainnya yang menyebutkan sanadnya atau ada riwayat lain yang mursal,
sedangkan guru keduanya adalah rawi yang shahih.
·
Jika
dikuatkan oleh pendapat dari seorang sahabat.
·
Jika
dikenal bahwa dia tidak menyebutkan riwayat mursal, kecuali dari orang-orang
yang adil. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
d.
Mursal sahabat
Yaitu
riwayat seorang sahabat dari seseorang yang tidak diketemuinya atau dia tidak
hadir di sana.Contohnya adalah perkataan Aisyah : “Sesungguhnya wahyu pertama
yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berupa
mimpi yang baik”. (Bukhari dan Muslim).Apakah riwayat ini dapat dijadikan
sebagai hujjah ? Ada dua buah pendapat :
·
Dapat
dijadikan sebagai hujjah, karena semua sahabat adalah adil. Ini adalah pendapat
kebanyakan para ahli hadits dan inilah pendapat yang benar.
·
Tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali jika dikenal bahwa dia tidak
meriwyatkan kecuali hanya dari sahabat yang lain. Ini adalah pendapat beberapa
kelompok ahli Ilmu Ushul Fiqih, seperti Abu Ishaq Al Isfarayini.
D. HADITS MU’ALLAQ
a.
Definisinya
Menurut
bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata التَّعْلِيْقُ
.
Dikatakan : عَلَّقَ
الشَّيْء بِالِشَّيْءِ يُعَلِّقُهُ تَعْلِيْقًافَهُوَ مُعَلَّقٌ maknanya adalah mengikatnya dengan
sesuatu dan menjadikannya tergentung. Sanad ini disebut sebagai mu’allaq karena
hanya tersambung dengan bagian atas saja dan terputus dari sisi bawahnya, maka
jadilah dia seperti sesuatu yang tergantung di atas langit-langit atau yang
semisalnya.
Menurut istilah
Yaitu hadits yang dibuang dari
awal sanad seorang rawi atau lebih secara berurutan.
b.
Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Ibnu Majisyun dari Abdullah Al Fadl dari Abu hurairah secara marfu’ : “Janganlah kalian
membanding-bandingkan (untuk melebihkan) diantara para nabi”.
c.
Bentuk-bentuknya
·
Jika
semua sanadnya dibuang
·
Jika
semua sanadnya dibuang kecuali hanya sahabat.
·
Jika
semua sanadnya dibuang kecuali hanya sahabat dan tabi’in.
·
Jika
orang yang menceritakan hadits itu saja yang dibuang.
d.
Hukumnya
Ini
termasuk diantara hadits yang ditolak karena sanadnya tidak bersambung dan
karena ketidak tahuan terhadap keadaan rawi yang dibuang dari sanad itu. Tetapi
kadang-kdang hadits itu dapat diterima jika memiliki jalur-jalur periwayatan
yang lain yang di dalamnya dia menyebutkan rawi yang dibuang itu dan dia adalah
seorang yang tsiqoh atau seseorang yang sangat
jujur.
II.
KETERPUTUSAN YANG SAMAR
A.
Mudallas
a.
Definisinya
Menurut bahasa
Merupakan bentuk isim maf’ul dari kata تَدْلِيْس .
Dikatakan : دَلَّسَ
يُدَلِّسُ تَدْلِيْسًا فَهُوَ مُدَلِّسٌ وَمُدَلَّسٌ
maknanya adalah menyembunyikan aib barang dagangan dari padangan pembeli. Adakr
katanya diambil dari kata الدَّلْسً yaitu bercampurnya kegelapan. Dan التَّدَلُّسُ maknanya adalah menyembuyikan.
Menurut istilah ada dua macam pengetian,
yaitu :
1. Tadlis sanad
·
Definisinya
Yaitu
jika seorang rawi meriwayatkan dari seseorang yang dia pernah betemu dengannya
yang tidak pernah mendegarkan langsung darinya, untuk mngisyaratkan seolah-olah
dia mendengar darinya.Hukum riwayat dari orang yang dikenal dengan tadlis ini
Para ulama berselisih menjadi
lima buah pendapat :
·
Menolaknya secara mutlak, baik mereka itu
menjelaskan mendengar darinya atau tidak menjelaskan. Ini adalah pendapat
beberapa ulama Madzhab Maliki.
·
Menerimanya secara mutlak, baik mereka menjelaskan
mendengarkannya darinya atau tidak menjelaskanya. Pendapat ini diceritakan oleh
Al Khothib di dalam Kitab Al Kifayah dari beberapa ulama.
·
Jika dia tidak melakukan tadlis kecuali dari
orang-orang yang tsiqoh, maka tadlisnya diterima. Dan
jika tidak, maka tidak diterima. Ini adalah pendapat Al bazar, Al Azdi, Ash
Shoirofi, Ibnu Hibban dan Ibnu Abdil Barr.
·
Jika tadlis darinya itu sedikit, maka riwayatnya
diterima. Dan jika banyak, maka tidak diterima. Ini adalah pendapat Ali bin Al
Madini.
·
Diterima riwayatnya jika dia adalah seorang yang tsiqoh dan dia menegaskan telah
mendengarkan darinya. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama ahli hadits. Dan
inilah pendapat yang benar.
Para
rawi yang dikenal melakukan tadlis seperti ini
Jumlah mereka adalah banyak,
seperti Muhammad bin Ishaq, Ibnu Juraij, Qotadah dan lain-lain.
2.
Tadlis Syuyukh (para guru)
·
Definisinya
Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan
sebuah hadits dari seorang guru (syeikh),
kemudian dia menyebutkan namanya, atau kunyah atau nisbatnya atau menyebutkan
sifatnya dengan sifat yang tidak dikenal agar dia tidak diketahui.
·
Contohnya
Athiyah
bin Sa’ad Al ‘Aufi.
Sesungguhnya dia belajar kepada Abu
Sa’id Al Khudri dan meriwayatkan darinya. Ketika Abuy Sa’id Al Khudri telah
wafat, maka dia belajar kepada Al kalbi, yang dituduh berbohong. Ketika dia
meriwayatkan darinya, maka dia berkata : “Abu Sa’id telah bercerita kepadaku”.
Maka orang-orang yang mendengar akan menyangka bahwa maksudnya adalah Abu Sa’id
Al khudri, tetapi sebenarnya yang dia maksud adalah Al Kalbi.
Macam-macam tadlis yang lain yang
termasuk kelompok pertama
1.
Tadlis
taswiyah (penyamaan)
·
Bentuknya
Yaitu jika seseorang yang melakukan
tadlis itu menyebutkan sebuah hadits yang dia dengarkan dari seorang guru yang tsiqoh, dan guru yang tsiqoh itu mendengarnya dari
guru yang dlo’if yang dia dengarkan dari guru yang tsiqoh. Maka orang yang
melakukan tadlis itu yang mendengar dari guru yang tsiqoh yang pertama itu
menghilangkan guru yang dlo’if itu dan menjadikannya langsung dari riwayat guru
tsiqoh
yang kedua dengan suatu kata yang mengandung beberapa penafsiran muhtamal seperti عَنْ(dari)
dan yang semisalnya, sehingga jadilah sanad itu seluruhnya tsiqoh dan dia menegaskan
telah mendengarkannya dari gurunya.
·
Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq bin
Rahaweh dari Baqiyah bahwa dia berkata : “Abu Wahab Al Asadi bercerita kepadaku
dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’
: “Janganlah kalian memuji keislaman seseorang sehingga kalian mengetahui
pemikirannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidillah dari Ishaq bin Abi
farwah dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’ dan kunyah Ubaidillah bin Amru
adalah Abu Wahab dari Bani Asad. Maka Baqiyyah menyebutkan kunyahnya dan menisbatkannya
kepada Bani Asad agar tidak dikenal, sehingga ketika dia menghilangkan Ishaq
bin Farwah di tengah-tengah sanad, maka tidak ada yang mengetahuinya.
2
Tadlis
‘athf (kata sambung)
Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan
dari dua orang guru yang mereka berdua mendengarkannya dari seorang guru. Dia
mendengar dari salah satu dari keduanya saja. Kemudian dia menegaskan telah
mendengar dari guru pertama dan menyebutkan ‘athaf (kata sambung, dan)
untuk guru kedua, sehingga disangka bahwa guru itu bercerita kepadanya juga,
padahal dia hanya mendengar dari guru pertama saja dan dia bermaksud memutus
pendengaran itu. Dia berkata : وَ
فُلان (dan fulan). Maksudnya adalah
fulan dan fulan telah bercerita kepada kami.
B.
Mursal Khofi (yang samar)
a. Defisinya
Yaitu keterputusan dimanapun
tempatnya antara dua orang rawi yang satu generasi yang tidak pernah bertemu.
b.
Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Al Awwam bin Huwaisyib dari
Abdullah bin Abi Aufa bahwa dia berkata : “jika Bilal berkata : “Qad qomatish
sholah”, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan bertakbir”.
Al Awwam ini tidak
pernah bertemu dengan Ibnu Abi Aufa.
c.
Hukumnya
Ini termasuk hadits
yang ditolak karena sanadnya tidak bersambung
Dlo’if Ditolak Karena
Adanya Cela Pada Perawinya
A.
MATRUK
a.
Definisinya
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang
dituduh melakukan kebohongan dan hadits itu tidak dikenal kecuali darinya saja
dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah dikenal.
b.
Sebab
tuduhan seorang rawi melakukan kebohongan
·
hanya sendirian meriwayatkan hadits itu.
·
Jika dia dikenal pembohong pada selain hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
·
Haditsnya bertentangan dengan kaidah-kaidah yang
dikenal dengan mudah dalam agama.
c. Contohnya
Hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Amru bin Syamr dari Jabir Al ju’fi dari Al Harits Al
A’war dari Ali secara marfu’.
B.
MAJHUL
a.
Sebab-sebab kemajhulan
·
Jika
sifat-sifat rawi itu banyak, seperti namanya, kunyahnya, sifatnya atau
nisbatnya, kemudian dia trekenal dengan salah satunya, kemudian disebutkan
dengan yang lainnya karena adanya suatu tujuan tertentu, sehingga disangka
bahwa dia adalah orang yang lain. Maka jadilah keadaannya menjadi tidak
dikenali.
·
Jika
dia hanya sedikit meriwayatkan hadits sehingga jarang orang belajar kepadanya.
·
Tidak
disebutkan dengan jelas namanya.
Al Mubham (yang
disamarkan)
a.
Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari : أبْهَمَ
الأمْرَ يُبْهِمُهُ إبْهَامًا فَهُوَ مُبْهَم
maknanya adalah sesuatu yang tidak dijelaskan.
Menurut istilah
Yaitu seorang rawi yang tidak disebutkan
di dalam sanad atau di dalam matan hadits.
b.
Hukum
riwayat rawi yang mubham
Ada
dua pendapat :
·
Tidak
diterima. Inilah pendapat yang benar menurut ahli hadits.
·
Dapat
diterima secara mutlak.
c. Macam-macamnya
Jika dikatakan :
“seorang laki-laki” atau “seorang perempuan”.
Jika dikatakan : “anak
laki-laki si fulan” atau “anak perempuan si fulan”.
Jika dikatakan :
“pamannya” atau “bibinya”.
Jika dikatakan : “suami
si fulan” atau “istri si fulan”.
d.
Contohnya
Imam Ahmad berkata : “Abu Kamil
bercerita kepada kami, Hammad bercerita kepada kami dari Abu Imran Al Juni dari
seorang laki-laki dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika kamu bermaksud
untuk melunakkan hatimu, maka berikanlah makan kepada orang yang miskin dan
usaplah kepala anak yatim”.
e.
kitab-kitab
yang disusun tentang hal ini.
Al Mustafad min
mubhamatil matni wal isnad karya Waliyuddin Al ‘Iraqi
Al Ghowamidl wal
mubhamat karya Ibnu Basykawal
Al Isyarat ilal
mubhamat karya An Nawawi.
Al Idloh ‘anil mu’jam
minal ghomidl wal mubham karya Al Qutb A Qastholani.
Macam-macam rawi yang majhul
Majhulul ‘ain (tidak dikenal pribadinya)
Yaitu
seseorang yang disebutkan namanya tetapi hanya satu buah hadits saja yang
diriwayatkan darinya.
a. Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi
dan Hakim dari jalur Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman An naufali
dari Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari bapaknya dari kakeknya secara
marfu’
: “Cintailah Allah karena kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya kepada
kalian. Cintailah aku karena mencintai Allah. Dan cintailah ahlul baitku karena
mencintaiku”. Abdullah bin Sulaiman An naufali adalah tidak dikenal diri
pribadinya.
b. Hukum riwayatnya
·
Ditolak
riwayatnya. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits.
·
Dapat
diterima riwayatnya.
Majulul hal (tidak dikenal keadaannya)
a. Definisinya
·
yaitu
orang yang tidak diriwatkan jarh
(celaan) dan ta’dil
(pujian) tentangnya
·
yaitu
orang yang diriwayatkan darinya oleh lebih dari satu orang, tetapi tidak
dinyatakan sebagai orang tsiqoh.
b. Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari jalur
‘Utsam bin Ali dari A’masy dari Abu Ishaq dari Hani’ bin Hani’ bahwa dia
berkata : ” Ammar masuk menghadap Ali. Dia
berkata : “Selamat datang wahai orang yang bersih yang dibersihkan. Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ammar telah
dipenuhi dengan keimanan sampai ke tulang-tulangnya”.
c.
Hukum riwayatnya
·
Ditolak
riwayatnya. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits.
·
Dapat
diterima riwayatnya
C.
BID’AH
a.
Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk mashdar dari : بَدَعَ
يَبْدَعُ بِدْعَةً maknanya
adalah membuat sesuatu yang baru.
Menurut istilah
Sesuatu
yang baru di dalam agama setelah agama itu disempurnakan.
b. Macam-macamnya
·
Menyebabkan
kekafiran
Seperti pendapat yang menyatakan
bahwa Tuhan itu bersatu dengan Ali. Riwayat orang yang dituduh melakukan bid’ah
kekafiran diperselisihkan menjadi empat buah pendapat :
·
menolak riwayatnya secara mutlak. Ini adalah
pendapat kebanykan ahli hadits.
·
Menerimanya secara mutlak.
·
Jika dia tidak berkeyakinan bahwa berbohong untuk
mendukung madzhabnya adalah halal, maka riwayatnya diterima. Jika tidak, maka
tidak diterima. Ini adalah pendapat Ar Razi dan Al Baidlowi dan ditarjih oleh
Al Asnawi.
·
Riwayat seseorang yang menentang sesuatu yang
mutawatir dari syari’at yang dikenal secara luas dari agama ini dengan mudah.
Ini adalah pendapat Al hafidz Ibnu Hajar.
·
Menyebabkan
kefasikan
Seperti mencela para sahabat.
Riwayat orang yang dituduh melakukan bid’ah kefasikan diperselisihkan menjadi
lima buah pendapat :
·
ditolak
secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Bakar Al Baqilani dan Ibnul
Hajib.
·
Diterima
secara mutlak.
·
Jika
dia tidak berkeyakinan bahwa berbohong untuk mendukung madzhabnya adalah halal,
maka riwayatnya diterima. Jika tidak, maka tidak diterima.. Ini adalah pendapat
Syafi’I, Sufyan Ats Tsauri dan Abu Yusuf Al Qodli. Ar Razi berkata : “Pendapat
inilah yang benar”. Pendapat ini ditarjih oleh Ibnu Daqiqil ‘id.
·
Riwayat
orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya dapat diterima dan riwayat orang yang
menyeru kepada bid’ahnya tidak dapat diterima. Ini adalah pendapat Ahmad, Ibnu
Mahdi, Ibnul Mubarak, Ibnu Ma’in, Ibnu Sholah dan An Nawawi.
·
Riwayatnya
yang mendukung bid’ahnya ditolak. Ini adalah pendapat Abu Ishaq Al jauzani.
Dlo’if Karena Adanya
Cela Pada Kedlabitan (Kekuatan Hafalan) Para Perawi
A. MUNKAR
a. Definisinya
Menurut bahasa
Merupakan bentuk isim maf’ul dari إنْكَار (pemungkiran)
yang merupakan lawan إقْرَار (pengakuan).
Menurut istilah
Ada dua buah pendapat :
1) Yaitu
hadits yang rawinya hanya sendirian meriwayatkannya
2) Orang
yang dla’if meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan orang yang tsiqoh. Inilah istilah yang
kemudian ditetapkan.
b. Syarat-syaratnya
·
jika
rawi itu hanya sendirian meriwayatkan hadits itu
·
bertentangan
dengan orang-orang yang tsiqoh.
c. Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dari jalur Usamah bin Zaid Al Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin
Abdurrahman bin Auf dari bapaknya secara marfu’ : “Orang yang berpuasa
pada Bulan Ramadlan pada waktu bepergian itu sama dengan orang yang berbuka
pada dia mukim”. Hadits ini adalah munkar. Karena Usamah bin Zaid meriwayatkannya
secara marfu’.
Maka dia bertentangan dengan seseorang yang tsiqoh, yaitu Ibnu Abi
Dzu’aib yang meriwayatkannya secara mauquf
kepada Abdurrahman bin Auf.
B.
MU’ALLAL
a.
Definisinya
menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari : أعَلَّ
يُعِلُّ إعْلالاً فَهُوَ مُعَلٌّ. Dan kata illat maknanya adalah
penyakit. Dikatakan : عَلّ يَعِلُّ dan اْعْتَلَّ maknanya adalah sakit. فَهُوَ
مُعَلٌّ maknanya dia dinyatakan sakit.
menurut istilah
yaitu sebuah hadits yang di dalamnya ada suatu cacat yang
mengurangi keshahihannya walaupun kelihatannya terbebas dari cela itu.
illat menurut istilah adalah :
suatu ungkapan untuk menunjukkan sebab-sebab yang samar
yang pelik yang terjadi pada sebuah hadits yang mengurangi keshahihannya
wlaupun ketihatannya trebebas darinya.
letak illat
illat
itu dapat terjadi pada sanad dan pada matan hadits. Tetapi terjadinya di sanad
adalah lebih banyak.
b. Contohnya
Hadits Musa bin Uqbah dari Abdullah bin
Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’
: “Sesungguhnya Alah telah menghilangkan pakaian jahiliyah dari kalian”. Rawi
hadits ini salah dalam memberikan nama Musa bin Uqbah. Tetapi sebenarnya adalah
Musa bin Ubaidah. Ibnu Uqbah adalah tsiqoh
dan Ibnu Ubaidah adalah dla’if.
c.
Bagaimanakah
illat itu diketahui
Illat itu diketahui dengan cara mengumpulkan jalur-jalur
periwayatan hadits dan melakukan penelitian terhadap perbedaan-perbedaan para
rawi dan menyelidikan kedudukan hafalan mereka serta sejauh mana penguasaan
mereka dan kedlabithan mereka.
d. Kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
a.
Al ‘ilal wa ma’rifatur rijal karya Imam Ahmad
b.
Az Zuhar Al Muthawwal fil hadits al mu’allal karya Ibnu Hajar
c.
‘ilalul hadits karya Ibnu Abi Hatim
d.
Al ‘ilal karya Ad Daruquthni.
C.
MUDRAJ
a.
Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari أدْرَجَ
الشَّيْء فِيْ الشَّيْءِ يُدْرِجُه إدْرَاجًا maknanya
adalah memasukkan sesuatu kepada seuatau yang lain dan menggabungkannya
dengannya.
Menurut Istilah
Ada
dua macam :
1)
Idraj matan
a)
Definisinya
Yaitu matan yang ditambahkan yang bukan
berasal darinya
b)
Tempatnya
Kadang-kadang
terjadi di awal haditskadang-kadang di pertengahan hadits dan kadang-kadang di
akhir hadits.
c)
contohnya
Hadits
Abu hurairah : “Sempurnakanlah wudlu’. Celakalah tumit-tumit dari api
neraka”.Perkataan : Sempurnakanlah wudlu’ adalah dari perkataan Abu Hurairah.
2)
Idraj Sanad
a)
Definisinya
Yaitu yang susunan sanadnya dirubah
b)
Macam-macamnya
Ada
tiga macam. Kami menyebutkan yang pertama saja dan memberikan contohnya, yaitu
:
Jika seorang \rawi itu memiliki dua buah
matan dengan dua buah sanad, kemudian dia meriwayatkan kedua matan itu denagn
salah satu sanad itu.
Contohnya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin
Abi Maryam dari Malik dari Zuhri dari Anas secara marfu’ : “Janganlah kalian
saling marah, janganlah saling dengki, janganlah saling berlomba-lomba. Dan
jadilah kalian –wahai para hamba Allah-sebagai saudara-saudara”. Maka Perkataan
: “janganlah saling berlomba-lomba” adalah termasuk idraj yang dilakukan oleh
Sa’id bin Maryam dari matan hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Malik dari
Abu Zunad dari Al A’raj dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Janganlah kalian
berburuk sangka. Sesungguhnya buruk sangka itu adalah sejelek-jelek perkataan.
Janganlah kalian mencari-cari (kelemahan orang lain), janganlah mematai-matai,
janganlah berlomba-lomba, janganlah saling memarahi, jangan saling membelakangi.
Dan jadilah kalian –wahai para hamba Allah-sebagai saudara-saudara”.
b.
Bagaimanakah
Idraj itu diketahui
Idraj itu diketahui dengan salah
satu dari tiga hal :
·
Dengan
disebutkannya secara terpisah pada riwayat yang lain.
·
Dengan
penegasan adanya idraj itu oleh rawi atau dari para imam peneliti.
·
Dengan
merasakan kemustahilan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan hal seperti itu.
c.
Kitab-kitab
yang disusun tentang hal ini.
·
Al
Fashlu lilwashlil mudraj fin naqli karya Al Khothib Al Baghdadi.
·
Taqribul
manhaj bi tartibil mudraj karya Ibnu Hajar
·
Al
Mudraj ilal mudraj karya As Suyuthi
D.
MAQLUB
a.
Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata : الْقَلْب maknanya membalikkan sesuatu dari asal sebenarnya
Menurut istilah
Yaitu hadits yang terjadi pemablikan
dalam sanadnya atau matannya.
b.
Contohnya
a. pada sanad
Seperti kesalahan yang terjadi pada beberapa rawi dalam
menyebutkan nama atau nisbatnya, seperti jika dia mengatakan Ka’ab bin Murrah
sebagai ganti Murrah bin Ka’ab.
b. pada
matan
Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani
dari Abu Hurairah secara marfu’
: “Jika memerintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah dan jika
aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia, sesuai dengan kemampuan
kalian”.
c.
Kitab-kitab
yang disusun tentang hal ini.
·
Rafi’ul
irtiyab fil maqlubi minal asmaa’i wal ansab karya Al Khothib
·
Jala’ul
qulub fi ma’rifatil maqlub karya Ibnu Hajar
Dloi’if Karena Ditambahkan Di Dalam Sanad-Sanad Yang
Bersambung
a.
Definisinya
Yaitu jika seorang rawi menambahkan seorang laki-laki
atau lebih di dalam sebuah sanad yang bersambung yang tidak disebutkan oleh
rawi-rawi yang lain karena kesalahan dan kealpaannya.
b.
Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul
Mubarak dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, Saya diberi cerita oleh Bisr bin
Ubaidillah bahwa dia berkata : “Saya mendengar Abu Idris berkata : “Aku
mendengar Watsilah bin Al Asqo’ berkata : “Aku mendengar Abu Masrtsad Al Ghanwi
berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangalah kamu shalat kepadanya”. Maka
penyebutan Abu Idris dalam sanad itu adalah sebuah kelalaian dan kesalahan.
Kealpaan Ibnu Mubarak ini seperti yang dikatakan oleh Imam Bukhari bahwa kebanyakan
ulama yang tsiqoh,
diantaranya Ali bin Hajar, Al Walid bin Muslim dan Isa bin Yunus meriwayatkan
hadits itu dari Bisr bin Ubaidillah dari Watsilah dan mereka tidak menyebutkan
Abu Idris diantara Bisr dan Watsilah. Dan beberapa diantar mereka menegaskan
bahwa Bisr mendengar langsung dari Watsilah.
c.
Kitab-kitab
yang disusun tentang hal ini.
Tamziyul mazid fi muttashilil
asaanid karya Al Khothib.
A.
MUDLTHORIB
a.
Definisinya
Menurut bahasa
Yaitu bentuk isim fa’il dari kata الاِضْطِرَاب yang maknanya adalah perbedaan.
Menurut istilah
Yaitu
hadits yang di dalamnya terdapat perbedaan dengan penggantian seorang rawi
dengan rawi yang lain atau penggantian riwayat dengan riwayat yang lain atau
perbedaan antara bersambung atau mursal, dengan tidak adanya tarjih antara
kedua riwayat itu atas yang lain serta tidak mungkin untuk dikumpulkan antara
keduanya.
b. letaknya
Idlthirob itu dapat terjadi pada
sanad atau matan. Dan kejadianya pada sanad adalah lebih banyak..
c.
Contoh
Idlthirob pada sanad
Hadits Zaid bin Arqom secara marfu’ : “Sesungguhnya
jamban-jamban itu telah dekat. Jika salah seorang diantara kalian memasuki
jamban, maka hendaklah dia berkata : “Aku berlindung kepada Allah dari
setan-setan laki-laki dan setan-setan perempuan”. Hadits ini adalah mudlthorib.
Hisyam Ad Dutuwa’i
meriwayatkannya dari Qotadah dari Zaid
Sa’id bin Abi ‘Urubah
dan Syu’bah meriwayatkannya dari Qotadah dari Qosim bin Auf Asy Syaibani dari
Zaid
Syu’bah meriwayatkannya
dari An Nadlr bin Anas dari Zaid
Ma’mar meriwayatkannya
dari Qotadah dari An Nadlr bin Anas dari bapaknya
Sa’id bin Abi ‘Urubah
meriwayatkannya dari Qotadah dari An nadlr bin Anas dari bapaknya.
d.
Contoh
Idlthirob pada matan
Hadits Fathimah binti Qois secara marfu’ : “Sesungguhnya harta
itu memiliki hak yang lain selain zakat”. Diriwayatkan oleh Turmudzi dengan
lafadz ini dari hadits Al Aswad bin Amir dan Muhammad bin Thufail. Keduanya
meriwayatkan dari Syuraik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’bi dari Fathimah. Dan
Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Yahya bin Adam dari Syuraik dari Abu Hamzah
dari Asy Sya’bi dari Fathimah secara marfu’
dengan lafadz : “Tidak ada hak pada harta selain zakat”. Al ‘Iraqi berkata :
“Itlthirob ini tidak mungkin ditakwilkan”.
e.
Kitab-kitab
yang disusun tentang hal ini.
Al Muqtarib fi bayaanil mutlthorib karya
Ibnu Hajar
B.
MUSHOHHAF DAN MUHARRAF
a.
Mushohhaf
menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata التَّصْحِيْفُ yang maknanya adalah kesalahan dalam membaca lembaran.
b.
Muharraf
menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata التَّحْرِيْفُ yang maknanya adalah pengubahan.
c.
Mushohhaf
menurut istilah
Yaitu
jika perbedaan itu ada pada pengubahan salah satu huruf dalam hadits dengan
pengubahan titik tanpa merupabah tulisan.
Muharraf menurut istilah
Yaitu
jika perbedaan itu ada pada pengubahan salah satu huruf dalam hadits dengan
pengubahan harakat (syakal) huruf dengan tanpa mengubah tulisannya.
d. Contoh mushohhaf
Hadits : مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ “Barangsiapa yang berpuasa pada Bulan Ramadlan dan
mengikutinya dengan enam hari pada Bulan Syawwal …”. Abu
Bakar Ash Shuli mentashhifnya menjadi : شَيْئًا (dengan
sesuatu hari)
e.
contoh muharraf
Jabir berkata : رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْأَحْزَابِ عَلَى
أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Ubay dipanah pada waktu Perang Ahzab kelopak matanya,
kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengobatinya”.
Ghobdar mentahrifnya menjadi أبِيْ (bapakku),
dengan idlafah.
Tetapi sebenarnya adalah Ubay bin Ka’ab. Sedangkan bapak Jabir sudah meninggal
sebelumnya, yaitu pada waktu Perang Uhud.
f.
Kejadiannya
Tahrif
dan Tashhif itu dapat terjadi di matan dan sanad.
g. Macam-macam tashhif
a.
tashihus sam’ (pada penglihatan)
Seperti
jika seorang syeikh mengatakan : ‘Ashim Al Ahwal, kemudian seseorang
meriwayatkanya dan mengatakan : Washil Al Ahdab.
b.
tashhiful bashor (pada pendengaran)
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Lahingah dari kitab Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Zaid bin Tsabit : أن
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
احْتَجَمَ فِيْ الْمَسْجِدِ (bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melakukan bekam di masjid). Perkataannya احْتَجَمَ adalah merupakan tashhif. Yang
bernar adalah dengan ra’ : احْتَجَرَ(membuat
kamar).
h.
Kitab-kitab
yang disusun tentang hal ini.
a.
At tashhif wat tahrif karya Al ‘Askari
b.
Tashifaatul muhadditsin karya Al ‘Askari
c.
Kitabut tashhif karya Ad daruquthni
d.
Ishlahu khoto’il muhadditsin
C.
SYADZ
a.
Definisinya
menurut bahasa
Yaitu bentuk isim fa’il dari شَذَّ yang maknaya adalah sendiri dan kata : ألشَّاذُ maknanya adalah orang yang menyendiri dari kebanyakan orang.
menurut istilah
Ada beberapa pendapat :
·
Orang
yang tsiqoh
yang riwayatnya bertentangan dengan orang yang lebih tsiqoh daripadanya.
·
Seorang
yang tsiqoh
yang sendirian meriwayatkan sebuah hadits.
·
Seorang
rawi yang sendirian meriwayatkan hadits, baik ia seorang yang tsiqoh atau tidak, baik dia
berbeda dengan oarang lain atau tidak.
b.
Syarat-syaratnya
a.
sendirian meriwayatkan hadits itu
b.
berbeda dengan orang yang lebih tsiqoh
daripadanya.
c.
Letaknya
hal itu dapat terletak pada sanad dan
matan hadits
d.
contohnya
a. dalam sanad
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah, Ibnu Juraij
dan Hammad bin Salamah dari Amru bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu Abbas bahwa
ada seorang laki-laki yang meninggal pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dan tidak meninggalkan ahli waris, kecuali walinya yang
memerdekakannya. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Apakah dia meninggalkan
seseorang ?”. Mereka berkata : “Tidak, kecuali seorang anak yang
memerdekakanya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan
warisannya untuknya”.. Hammad bin Zaid berbeda riwayatnya dengan mereka. Dia
meriwayatkannya dari Amru bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu Abbas.
Maka haditsnya disebut hadits syadz, sedangkan hadits Ibnu Uyainah
adalah hadits mahfudz.
b.
dalam matan
hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud
dan Turmudzi dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad dari Al A’masy dari Abu Sholih
dari Abu Hurairah secara marfu’
: “Jika salah seorang diantara kalian telah selesai shalat melakukan shalat
sunnat dua raka’at fajar, maka hendaklah tidur miring ke kanan”. Hadits ini
adalah syadz, karena Abdul Wahid bin Ziyad berbeda dengan orang-orang yang
lebih tsiqoh
darinya. Mereka meriwayatkannya dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Sesdangkan dia meriwayatkannya dalam bentuk perintah.
1.4
KEDUDUKAN HADITS DHOIF
Sebagaimana
telah kita ketahui, tidaklah sama hal-hal yang menyebabkan hadits menjadi jatuh
ke dalam hadits dla'if. Cacat hadits dla'if berbeda-beda, baik macamnya maupun
berat ringannya.Oleh karena itu tingkatan (martabat) hadits dla'if juga
berbeda.Dari hadits yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya, maka
hadits yang paling buruk atau paling rendah martabatnya adalah hadits maudlu'
dan berturut-turut hadits matruk, hadits munkar, hadits mu'allal, hadits
mudraj, hadits maqlub dan seterusnya.Dari hadits-hadits yang gugur rawi atau
sejumlah rawinya, maka hadits yang paling lemah adalah hadits mu'allaq (kecuali
hadits-hadits shahih yang diriwayatkan secara mu'allaq oleh Bukhari dalam kitab
shahihnya), dan selanjutnya hadits mu'dlal, hadits munqathi', yang terakhir
hadits mursal.
Kendati berbeda
tingkatan hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if, namun hadits dla'if
tetaplah hadits dla'if yang harus dipandang sebagai bukan hadits Rasulullah
saw. Oleh sebab itu, para ulama sepakat untuk menolak hadits dla'if sebagai
hujjah (dasar, dalil, alasan) dalam menetapkan akidah dan hukum.Para ulama
memang berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memakai hadits dla'if tertentu,
yang menjelaskan tentang berbagai keutamaan yang terkandung dalam suatu amal
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.Sebagian ulama membolehkan karena
memandang bahwa hadits tersebut dapat mendorong orang untuk lebih giat
mewujudkan amal yang diperintahkan itu. Tapi sebagian lagi tidak membolehkan
memakai hadits dla'if manapun, karena khawatir bahwa orang banyak akan memandang
hadits dla'if yang dipakai itu sebagai hadits Rasulullah. Padahal hadits
tersebut harus dipandang bukan sebagai hadits beliau.
Jadi,
hadits dla'if seperti halnya dengan pembicaraan manusia lainnya yang bukan
Rasulullah, tidak mempunyai kedudukan sebagai sumber pokok ajaran Islam dalam
semua aspeknya.
1.5 KITAB-KITAB YANG MEMUAT HADITS DHOIF
Kitab-kitab
yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:
·
Kitab
ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena
perawinya yang dhoif.
·
Kitab
Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi
dhoif karena perawinya yang dhoif
·
Kitab
al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
·
Kitab
al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi
dhoif karena perawinya yang dhoif.
1.6 HUKUM
MENGAMALKAN HADITS DHAIF
Segenap ulama sepakat
bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal
dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad
nikah, hukum thalaq dan lain-lain.
Tetapi mereka
berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha''if untuk menerangkan
keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a''mal, yaitu
untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib
(menakutkan pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan
Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha''if tidak bisa digunakan meski
hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud
Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan
tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat
periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap
kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang
berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang
menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya
mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka
bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Senjata utama mereka
yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW: “Siapa
yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu
haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta”. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam
An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para
ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif
untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum
sampai kepada derajat maudhu'' (palsu).
Namun pernyataan beliau
ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud
pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk
menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar
adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh
menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits
yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha''if untuk menggambarkan
bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus
didasari dengan hadits yang kuat.
Lagi pula, kalau pun
sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka
ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:
·
Derajat
kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai
pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka
haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
·
Perbuatan
amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal
yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan
hadits yang lemah.
·
Ketika
seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak
boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar
dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah
menyatakan
hal itu.
1.7 CONTOH HADITS DHOIF
Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup
Selamanya
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Bekerjalah untuk
duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan
kamu mati besok.”
·
Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini
dan mereka terkecoh dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini
bukanlah hadits.
·
Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfu’an (tidak ada
dasarnya dari Rasulullah)
·
Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat),
yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. Ada juga yang menyebut sebagai
ucapan Abdullah bin
Amru bin Al ‘Ash.
Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat
Dalam hal ini ada dua
hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malikkatanya:
كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ثم قال : أشهد أن لا إله إلا الله
الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم و الحزن
“Adalah
Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan
kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan
kesedihan.” ( HR. Ibnu Sunni ,‘Amalul
Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Sam’un, Al Amali, 2/176q)
• Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan
sebagian ulama mengatakan: maudhu’ (palsu).
• Sanad hadits tersebut adalah dari Salam Al Madaini,
dari Zaid Al ‘Ami dari Mu’awiyah, ..dst.
• Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid
Al ‘Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan
Zaid Al ‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan,
sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad
lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan.
Hadits
Keutamaan Memakai Surban
العمامة على القلنسوة فصل ما بيننا وبين المشركين يعطى يوم القيامة بكل
كورة يدورها على رأسه نورا (البارودي عن ركانة
“Surban yang dililitkan
ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari
kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk
cahaya.”(Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)
•
Syaikh Al Albani berkata: “Hadits ini menurutku adakah batil, karena
memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran
yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam
kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah.
•
Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan
itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa’ (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah,
3/362, No. 1217. Darul Ma’arif)
•
Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu’ , dan Imam
Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebtkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718)
•
Catatan:
Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa
memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab
hadits-hadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai
surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari
zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan
keutamaan-keutamaannya. Wallahu A’lam
مَاأَخْرَجَهُ
التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي
تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : "
مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ
بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi
dari jalur hakim al-atsrami “Dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari
nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang
perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari
apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah
mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali
hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad
dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab
didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
4.8 MAUDLU’ (HADITS PALSU)
a.Definisinya
Menurut Bahasa
adalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata الْوَضْعُ yang memiliki dua buah pengertian :
·
Mengurangi dan menjatuhkan. Dinamakan demikian karena kerendahan
derajatnya
·
Melekatkan. Maka seolah-olah rawi itu melekatkan hadits itu kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padahal dia terbebas darinya.
Menurut istilah adalah hadits yang
diabuat-buat yang diatasnamakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
b.
Contohnya
“Mernikahlah dan janganlah melakukan
thalaq. Sesungguhnya thalaq itu menggoncangkan arasy”. (Al Khothib di dalam At
tarikh dari hadits Amru bin Jami’ dari Juwaibir dari Adl Dlohak dari An Nizal
bin Sibroh dari Ali secara marfu’.
Hadits ini adalah maudlu’. Dalam sanadnya terdapat Amru bin Jami’. Dia adalah
seorang yang sangat bohong (kaddzaab)
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ma’in.
Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan hadits mutawatir
ialah hadits yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad.
وَاِنَّ كُلَّ مَنْ يُسَمَّى بِهَذِهِ اْلاَسْمَاءِ
(محمد و احمد) لاَيَدْخُلُ النَّارَ
Artinya:
"Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad dan
Ahmad) ini, tidak akan dimasukkan di neraka".
Hadits di atas bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah saw.
yang menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditembus dengan nama-nama
tersebut, akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keimanan dan amal
shalih.
Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan ijma' ialah
hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah
saw. kepada Ali r.a. untuk menjadi khalifah yang menurut mereka bahwa shahabat
bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut.
اِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِ عَلِىٍّ بْنِ
اَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ بِمَحْضَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ,
وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ, فَاقَامَهُ بَيْنَهُمْ حَتَّى
عَرَفَهُ الْجَمِيْعُ, ثُمَّ قَالَ: هَذَا وَصِىِّ وَاَخِى وَالْخَلِيْفَةُ
بَعْدِى, فَاسْمَعُوا وَاَطِيْعُوا
Artinya:
"Bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Ali bin Abi Thalib
r.a. dihadapan para shahabat seluruhnya yang baru kembali dari haji Wada'.
Kemudian Rasulullah membangkitkan Ali, sehingga para shahabat mengetahui
semuanya. Lalu beliau bersabda: Ini adalah wasiatku (orang yang saya beri
wasiat) dan saudaraku, serta khalifah setelah saya mati. Oleh karena itu,
dengarlah dan taatilah".
Hadits di atas adalah maudlu', karena bertentangan dengan ijma'
seluruh ummat, bahwa Rasulullah saw. tidak menetapkan (menunjuk) seorang
pengganti sesudah beliau meninggal dunia.
Dari segi lafadznya, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik
serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ini ialah susunan kalimat yang sederhana,
tetapi isinya berlebih-lebihan. Kalau ketidak fasihan itu hanya terletak pada
redaksinya saja sedang isinya tidak kacau, menurut pendapat Ibnu Hajar tidak
dapat dipastikan sebagai hadits maudlu', sebab ada kemungkinan bahwa rawi hanya
meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya yang ia susun sendiri kurang
fasih.
Contoh hadits maudlu' dari segi lafadznya, yaitu hadits yang
berisikan pahala yang sangat besar bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil):
لُقْمَةٌ
فِى بَطْنِ جَائِعٍ اَفْضَلُ مِنْ بِنَاءِ اَلْفِ جَامِعٍ
Artinya:
"Sesuap
makanan di perut si lapar labih baik daripada membangun seribu masjid
Jami'".
مَنْ
قَالَ لآ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ طَائِرًا لَهُ
سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ
يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
Artinya:
"Barangsiapa
mengucapkan tahlil (la ila ha illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu
seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan dan setiap lisan mempunyai 70.000
bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya".
c.
Hukum
meriwayatkannya
Para
ulama sepakat mengharamkan meriwayatkan hadits yang maudlu’ jika dia mengetahui
bahwa hadits itu adalah maudlu’. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang menceritakan dariku sesuatu yang dia tahu
bahwa hal itu adalah bohong, maka dia adalah salah seorang pembohong”. (Riwayat
Muslim). Baik hal itu di dalam masalah hukum dan keutamaan atau dalam hal-hal
lain. Kecuali jika rawi itu menjelaskan bahwa hadits itu adalah maudlu’.
d. Orang-orang yang membuat hadits maudlu’
Mereka
berjumlah banyak yang disebutkan di dalam kitab-kitab tentang orang-orang yang
dlo’if, seperti dalam kitab Mizanul I’tidal karya Adz Dzahabi, Lisanul Mizan
karya Ibnu Hajar.Dan Al burhan Al halbi menyebutkannya secara khusus di dalam
kitab Al Kasyful Hatsits ‘amman rumiya bi wadl’il hadits.
Mereka terdiri dari beberapa golongan :
·
Orang-orang
zindiq
·
Para
tukang dongeng
·
Sekelompok
ahli zuhud
·
Mereka
yang membuat hadits untuk menguatkan madzhab mereka
·
Beberapa
orang yang berusaha mendekatkan diri kepada para khalifah dan pemimpin
·
Orang-orang
yang membuat hadits untuk mencela orang-orang yang hendak dicela
e.
Kitab-kitab yang disusun dalam hal ini
·
Al
Maudlu’at karya Ibnul Jauzi
·
Allaa’li
al mashnu’ah karya As Suyuthi
·
Tanzihusy
syari’ah al marfu’ah ‘anil akhbar asy syani’ah al maudlu’ah karya Ibnu Iraq Al
Kinani
·
Tadzkirotul
Maudlu’at karya Muhammad bin Thahir Al Faattani
·
Al
Abathil karya Al Jaurqoni
·
Al
Asrar al marfu’ah fil ahadits al maudlu’ah karya Asy Syaukani
·
Al
‘Aqidah ash shohihah fil maudlu’at karya Umar bin Badr Al Masuhili
·
Ahaditsul
qashshosh karya Ibnu taimiyah
·
Al
ahadits adl dlo’ifah wal maudlu’ah karya Al Albani