HADITS
HASAN
A. PENGERTIAN HADITS HASAN
Menurut BahasaKata
Hasan (حسن)
merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.
Menurut
ulama :
· Al-Khathabi,
hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya
masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh banyak ulama, dan
digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
· At-Tirmidzi,
hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada
rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan
lain.
· Ibnu Hajar,
hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,
kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya bersambung, haditsnya
tidak ilal dan syadz.
· Mahmud Tahhan,
definisi yang lebih tepat adalah definisi yang diungkapakan oleh Ibnu Hajar,
yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,
namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan
illat.
· Imam
Al-Baiquni rahimahullah berkata:
وَالْحَسَنُ
الْمَعْرُوْفُ طُرْقًا وَغَدَتْ رِجَالُهُ لاَ كَالصَّحِيْحِ اشْتَهَرَتْ
Hadits hasan adalah hadits yang sudah dikenal
jalan-jalan (sanadnya) dan para perawinya masyhur tapi tidak seperti
kemasyhuran perawi hadits shahih.
Menurut istilah
مَالاَ يَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ
بِالْكَذِبِ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًا وَيَرْوِيْهِ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ بِنَحْوِهِ
فِى الْمَعْنَى
Artinya:
"Hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh berdusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan melainkan mempunyai banyak jalan yang sepadan dengan maknanya".
"Hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh berdusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan melainkan mempunyai banyak jalan yang sepadan dengan maknanya".
Menurut definisi lain, hadits hasan ialah:
مَا
نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ
شَاذٍ
Artinya:
"Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang daya ingatannya, bersambung
sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz".
Menurut
kelompok :
“Hadits
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang
daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya
(mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di
dalamnya.”
Dengan demikian hadits hasan dan hadits shahih hampir sama.
Bedanya ialah bahwa pada hadits hasan perawinya kurang sempurna ingatannya,
sedangkan pada hadits shahih perawinya terdiri dari orang yang kuat daya
ingatannya.
B. SYARAT HADITS HASAN
Dari ta’rif di atas maka dapat diketahui
ada 5 (lima) syarat hadist hasan, yaitu:
• Perawinya orang yang adil.
Perawinya bersifat adil, yang unsur –
unsurnya adalah :
seorang perawi selalu memelihara
kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT, mampu menjauhi perbuatan maksiat &
dosa – dosa besar (contoh : syirik,durhaka pada ortu,bohong,zina dll), Mampu
menjauhi dosa-dosa kecil (contoh: berkata kotor, ghobah, jajan gabrul, nyontek
), tidak melakukan perkara mubah
(diperbolehkan) yang dapat menggugurkan iman, harga diri dan kehormatan
(contoh: jam satu malam seorang ulama “ngehiq”,memakai sandal selen,kaos kaki
diinjak separo dll) , tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab/aliran/faham
yang bertentangan dengan dasar syari’at Islam.
• Perawinya agak kurang daya ingatannya.
Seorang perowi yang mempunyai hafalan
kurang sempurna serta memahami isi kandungannya terhadap hadits – hadits yang
diterimanya, semenjak dia menerima hadits-hadits tersebut semasa masih menjadi
murid hingga menyampaikannya kepada orang lain,yang jaraknya puluhan tahun.dan
kekuatan hafalannya ini dibawah perowi hadits shohih dikeluarkan dan
disampaikan kepada orang lain (para muridnya) kapanpun dan dimanapun
dikehendaki secara spontan tanpa harus mengingat – ingatnya terlebih
dahulu.Untuk kriteria hadits hasan hampir sama dengan kriteria hadits shahih.
Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-annya. Hadits shahih
ke-dhabith-an seluruh perawinya harus sempurna, sedang dalam hadits hasan,
kurang sedikit ke-dhabith-annya jika dibandingkan dengan hadits shahih.
ke-dhabith-an perawi hadits hasan nilainya memang kurang jika dibandingkan
dengan perawi hadits shahih, karena ke-dhabith-an para perawi hadits shahih
sangat sempurna.
Yang membedakan hadits shahih dan hadits
hasan adalah pada tingkat daya ingatnya , dimana tingakatan kedhlabitan perawi
hadits shahih diatas kedhlabitan perawi hadits hasan .
Untuk
lebih jelasnya lihat bagan di bawah ini
Hadits di
atas diterima oleh
Imam Turmudzi melalui dua sanad:
Pertama : dari Ali
bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, dari Yazid bin Ziyad,
dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua : dari Ahmad bin Mani', dari Hasyim, dari
Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari
Rasulullah saw.
Rawi-rawi dalam sanad pertama
cukup terpercaya, kecuali Abu Yahya bin
Ibrahim At Taimi yang dianggap lemah hafalannya.
·
Sanadnya Muttasil/bersambung (tidak terputus)
Contoh
sanad muttasil :
Imam
Ahmad berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id - telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah
- telah menceritakan kepada kami Misyrah
- dari Uqbah bin Amir Radliyallahu ‘anhu
dia berkata - "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ....dst
Sanad menurut
bahasa artinya jalan, thoriq, syari’, ringroad,
gank, lorong , way, margi, dll. Muttasil menurut bahasa ialah
bersambung, berurutan, bergandengan, berkesinambungan, berjajar,
jentrak-jentrek, dll.
Maka
yang dimaksud sanadnya muttasil
ialah tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima suatu berita hadits
langsung dari guru yang memberi hadits tsb sampai kepada sumbernya yang asli
yaitu Rasulullah SAW.
·
Tidak terjadi ‘illat
Dalam
bahasa arti ‘illat = penyakit,
sebab, alasan, atau udzur. Secara
istilah, arti ‘illat yaitu suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat
keabsahan suatu hadits padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut.
Misalnya
sebuah hadits setelah diadakan penelitian ternyata ada sebab yang membuat cacat
yang menghalangi terkabulnya, seperti perawi seorang fasik, tidak bagus
hafalannya, seorang ahli bid’ah, dll.
·
Tidak terjadi kejanggalan ( syadzdz )
Syadz dalam
bahasa berarti ganjil, terasing, atau
menyalahi aturan. Sedangkan maksud syadzdz disini ialah periwayatan orang
tsiqah (terpecaya yakni adil dan dhabit ) bertentangan dengan periwayatan orang
yang lebih tsiqah. Atau dengan kata lain tidak ada pertentangan antara suatu
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang lebih rajin daripadanya
Contoh syadzdz,
seperti hadits yang diriwayatkan oleh muslim melalui jalan Ibnu Wahb sampai
pada Abdullah bin Zaid dalam memberitakan sifat-sifat wudhu’ Rasulullah
:
Bahwa beliau menyapu
kepalanya dengan air yang bukan kelebihan di tangannya.
Sedang periwayatan
Al-Baihaqi, melalui jalan sanad yang
sama mengatakan :
Bahwasannya beliau
mengambil air untuk kedua telinganya selain air yang diambil untuk kepalanya.
Periwayatan Al-Baihaqi
syadzdz ( janggal ) dan tidak shahih, karena periwayatan dari
Ibnu Wahb seorang tsiqah, menyalahi periwayatan jama’ah ulama dan muslim yang
lebih tsiqah. Syadzdz bisa terjadi pada matan suatu hadits atau pada sanad.
• Tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat
Tidak ada
pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.
Penjelasan
Syarat Menurut :
Abu Sulaiman al Khathabi
Memberikan ta’rif hadist hasan sebagai
berikut :
هو ما
عُرف مخرجُه واشتهر رجاله وعليه مدارُ أكثرِ الحديث ويقبله أكثر العلماء واستعمله
عامة الفقهاء
“(Hadist hasan) yaitu hadist yang
diketahui makhrajnya, para perawinya dikenal, kebanyakan hadist
berkisar padanya, diterima kebanyakan ulama dan dipakai oleh ulama ahli fiqih
pada umumnya”
·
Yang
dimaksud dengan “diketahui makhrajnya” (ما
عُرف مخرجُه) yaitu : tidak syadz dan perawi tidak
bersendirian dalam periwayatannya.
·
Yang
dimaksud dengan “perawinya dikenal” (واشتهر
رجاله) yaitu : perawinya tidak tertuduh
berdusta.
Imam
at Tirmidziy
Memberikan batasan hadist hasan sebagai
berikut :
كلّ
حديث يُروي لا يكون في إسناده مَن يُتهَم با لكذِب ولا يكون الحديث شاذّا ويُروي
مِن غير وجه نحوُ ذٰلك
“Yaitu setiap hadist yang di dalam
sanadnya tidak kedapatan perawi yang tertuduh berdusta, tidak ada syadz,
dan adanya riwayat lain yang semisalnya”.
·
Termasuk
perawi yang tertuduh berdusta adalah : sangat ghaflah dan
banyak salahnya.
·
Syadz terdapat
pada matan atau sanad. Syadz pada matan yaitu
hadist yang matannya menyelisihi matan hadist yang paling shahih dalam suatu
bab. Syadz pada sanad yaitu penyelisihan seorang perawi tsiqah
terhadap perawi yang lebih tsiqah darinya (lihat penjelasan
sebelumnya dalam pembahasan hadist shahih).
·
Yang
dimaksud “adanya riwayat lain yang semisalnya” yaitu perawi tidak bersendirian
di dalam periwayatannya.
C. MACAM-MACAM HADITS HASAN
·
Hasan li dzatihi
Hadits hasan li dzatih adalah hadits yang memiliki
persyaratan hadits hasan tersebut di atas. Hadits itu menjadi hadits hasan
bukan karena diperkuat oleh hadits yang lain, tapi karena dirinya sendiri,
yakni karena matan dan para rawinya memenuhi semua syarat-syarat hadits shahih,
kecuali keadaan rawi-rawinya kurang dlabit (kurang kuat hafalannya).
Di antara hadits-hadits yang termasuk hadits hasan li
dzatih, sebagian tetap saja pada tingkatan hadits hasan tersebut, tetapi
sebagian lainnya dapat naik pada tingkatan hadits shahih li ghairih. Bila suatu
hadits hasan li dzatih tidak diperkuat oleh hadits yang lain yang berada pada
tingkatan hadits shahih atau pada tingkatan hadits hasan li dzatih pula, maka
hadits tersebut tetap berada pada tingkatan hadits hasan li dzatih.
Sebaliknya, bila suatu hadits yang termasuk hadits
hasan li dzatih diperkuat oleh hadits yang lain (baik berada pada tingkatan
hadits shahih maupun pada tingkatan hadits hasan li dzatih), maka hadits
tersebut naik tingkatannya menjadi hadits shahih li ghairih. Hadits demikian
dapat disebut secara lengkap hadits hasan li dzatih shahih li ghairih
(hadits hasan karena dirinya, shahih karena lainnya), dan juga dapat disebut
lebih singkat: hadits hasan shahih. Hanya saja perlu diketahui bahwa
disamping ada ulama yang mengartikan sebutan hadits hasan shahih dengan hadits hasan lidzatih
shahih li ghairih, ada pula ulama yang mengartikan sebutan tersebut dengan dua
hadits yang sama matannya, tapi hadits yang satu mempunyai sanad yang hasan,
sedangkan hadits yang lain memiliki sanad yang shahih.
Contoh hadits hasan li
dzatih adalah hadits tentang menyikat gigi menjelang shalat, yang diriwayatkan
oleh Turmudzi dari Abu Hurairah (sudah dikemukakan pada pembahasan hadits
shahih li ghairih).
لَوْلاَ
اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى لاَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
(رواه البخارى والترمذى)
Seandainya aku tidak menyusahkan
ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat
(HR Bukhari Tirmidzy)
·
Hasan li ghairih
Adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke
tingkatan hadits hasan, karena ada hadits lain yang menguatkannya. Dengan kata
lain, hadits hasan li ghairih adalah hadits dla'if yang karena dikuatkan oleh
hadits lain, meningkat menjadi hadits hasan.
Hadits dla'if yang dikuatkan oleh hadits dla'if yang
lain bisa menjadi hadits hasan li ghairih, dan bisa pula tidak naik
tingkatannya. Hal ini disebabkan keadaan hadits-hadits dalam lingkungan hadits
dla'if beraneka ragam. Hadits dla'if karena lemahnya hafalan rawi (padahal
rawinya dikenal jujur), dapat meningkat menjadi hadits hasan li ghairih, bila
hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleh rawi
yang lemah hafalannya. Demikian pula hadits dha'if lain, yang disebabkan oleh
tidak disebutkannya rawi tingkatan shahabat Nabi atau tidak dikenal salah
seorang perawinya, dapat meningkat menjadi hadits hasan li ghairih, bila hadits
tersebut dikuatkan oleh hadits yang lain.
Tidak demikian halnya dengan hadits dla'if yang
disebabkan oleh rawi yang dikenal pendusta atau dikenal fasik. Hadits dla'if
seperti itu, bila dikuatkan oleh hadits lain yang serupa tidaklah hilang
kedla'ifannya (kelemahannya), bahkan bertambah dla'if (bertambah lemah), jadi
tidak bisa meningkat menjadi hadits hasan li ghairih.
Contoh hadits hasan li
ghairih adalah:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ اَنْ يَغْتَسِلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
(رواه الترمذى)
Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: Merupakan hak atas kaum muslim,
mandi pada hari jum'at". (HR. At Turmudzi)
Hadits di atas, diterima oleh Turmudzi
melalui dua buah sanad, yang gambarannya sebagai berikut:
Hadits di
atas diterima oleh Turmudzi melalui dua sanad:
Pertama : dari Ali
bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, dari Yazid bin Ziyad,
dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua : dari Ahmad bin Mani', dari Hasyim, dari
Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari
Rasulullah saw.
Rawi-rawi dalam
sanad pertama cukup terpercaya, kecuali Abu
Yahya bin Ibrahim At Taimi yang dianggap lemah hafalannya. Karena itu, hadits yang dirawikan sanad pertama dipandang
sebagai hadits dla'if. Rawi-rawi dalam sanad kedua juga cukup terpercaya,
kecuali Hasyim yang dikenal mudallis (menyembunyikan cacat suatu
hadits). Karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh sanad kedua juga dipandang
sebagai hadits dla'if. Kedua hadits tersebut (karena ada dua sanad harus
dihitung dua hadits) saling meguatkan, oleh sebab itu masing-masing hadits naik
tingkatannya menjadi hadits hasan li ghairih.
Dinamakan
hasan lighayrih karena kehasanannya disebabkan oleh faktor lain (dari luar), artinya
hadis ini sebenarnya adalah tergolong da'if karena salah satu
syarat untuk bisa dikategorikan hadis hasan atau
shahih tidak terpenuhi, namun
dikuatkan oleh adanya muttabi' atau syahid.
D. KEDUDUKAN HADITS HASAN
Para Ulama sepakat
memandang bahwa tingkatan hadits hasan berada sedikit di bawah tingkatan hadits
shahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam atau sebagai hujjah.Sebagian ulama menolak hadits hasan sebagai
hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya jumhur (mayoritas) ulama memperlakukan
hadits hasan seperti hadits shahih, mereka menerima hadits hasan sebagai hujjah
atau sumber ajaran Islam, baik dalam bidang hukum, moral maupun dalam bidang
aqidah
.
E. CONTOH HADITS HASAN
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي
عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَال
سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُقالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَال السُّيُوف ِ:
“Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…”
(Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
“Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…”
(Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Imam Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits hasan lagi asing. Hadits tersebut
dikatakan sebagai hadits hasan karena para rawi hadits tersebut adalah tsiqat,
kecuali Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i. Para Ahli al-Jarhi wa Ta'dil berselisih
tentang ketsiqahan dan kedloifan Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i. Oleh karena
itu hadits tersebut turun derajatnya dari shohih menjadi hasan.
Hadits
yang diriwayatkan oleh al-timidzi, ibn majjah, dan ibn hibban dari al-hasan bin
urfah al-maharibi dari muhammad bin amr dari abu salamah dari abi hurairah,
bahwa nabi SAW bersabda:
اَعْمَارُ
اُمَّتِيْ مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِلَى السَّبْعِيْنَ وَاَقَلُّهُمْ مَنْ
يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku sekitar antara
60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi yang demikian itu”.
Para perawi
hadits di atas tsiqqah semua kecuali, Muhammad bin Amr dia adalahshaduq (sangat
benar). Oleh para ulama hadits nilai ta’dil shaduq tidak mencapai
dhabith tamm sekalipun telah mencapai keadilan, kedhabithannya kurang sedikit
jika dibandingkan dengan kedhabithannya hadits shahih seperti tsiqqatun
(terpercaya) dan sesamanya.
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ
فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ.
“Merupakan
suatu hak bagi orang-orang muslim untuk mandi di hari Jum'at. Hendaklah salah
seorang diantara mereka mengusapkan wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak
memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian.”
Hadis ini dikatakan sbg
hadits dloif, krn pd rawinya terdapat Ismail bin Ibrahim al-Taimi yg didloifkan
oleh para ahli hadits. Akan tetapi hadits ini naik derajatnya menjadi hasan
lighairihi krn selain dr jalur Ismail bin Ibrahim al-Taimi, ternyata juga
terdapat jalur lain yg berasal dr Ahmad bin Manba' lalu Husyaim, dr Yazid bin
Abi Ziyad. Selain itu hadits ini jg diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui
Husyaim, dari
Yazid bin Ziyad. Kemudian hadits senada ttg kesunahan memakai wangi-wangian jg
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.
F. KITAB YANG TERDAPAT HADITS HASAN
Para
ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang
memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh
di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang
di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur
adalah:
1.
Kitab
Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah
yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang
pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling
banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat
banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan
Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini
dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah
dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.
2.
Kitab
Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam
risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits
Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat
kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak
dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita
mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan
tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan
menurut Abu Dâ`ûd.
3.
Kitab
Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis
di dalam kitabnya ini.
G. TINGKATAN HADITS HASAN
Sebagaimana
hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits
shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan
hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
ad-Dzahaby menjadikannya
dua tingkatan:
·
Pertama,
(yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari
ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya;
Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai
hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
·
Ke-dua,
hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya,
seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin
Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama
Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
·
Ucapan
para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah
kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
·
Demikian
juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah
kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih
atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz
atau ‘Illat.
·
Seorang
ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah
memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi
pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih
sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya
tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan
kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz
atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum
mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.
Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.
Makna Ucapan
at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”
Secara implisit, bahwa ungkapan
seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits
Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya
berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang
beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang
paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh
as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
·
Jika
suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan)
atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu
sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
·
Bila
ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut
sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan
Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para
ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang
dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian
Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Di
dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah
khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam
kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada
hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy,
Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan,
“Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang
digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat
hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.
Oleh
karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari
itu, semestinya seorang pembaca kitab ini (“Mashâbîh as-Sunnah” )
mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam
kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih”
atau “Hasan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar