Animation

Senin, 10 Agustus 2015

HADITS HASAN



HADITS HASAN

A. PENGERTIAN HADITS HASAN
Menurut BahasaKata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.
Menurut ulama :
·      Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
·      At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain.
·      Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz.
·      Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan illat.
·      Imam Al-Baiquni rahimahullah berkata:
وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوْفُ طُرْقًا وَغَدَتْ رِجَالُهُ لاَ كَالصَّحِيْحِ اشْتَهَرَتْ
Hadits hasan adalah hadits yang sudah dikenal jalan-jalan (sanadnya) dan para perawinya masyhur tapi tidak seperti kemasyhuran perawi hadits shahih.

Menurut istilah
مَالاَ يَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًا وَيَرْوِيْهِ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ بِنَحْوِهِ فِى الْمَعْنَى
Artinya:
"Hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh berdusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan melainkan mempunyai banyak jalan yang sepadan dengan maknanya".

Menurut definisi lain, hadits hasan ialah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ
Artinya:
"Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang daya ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz".

Menurut kelompok :
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
Dengan demikian hadits hasan dan hadits shahih hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada hadits hasan perawinya kurang sempurna ingatannya, sedangkan pada hadits shahih perawinya terdiri dari orang yang kuat daya ingatannya.

B. SYARAT HADITS HASAN
Dari ta’rif di atas maka dapat diketahui ada 5 (lima) syarat hadist hasan, yaitu:
     Perawinya orang yang adil.
Perawinya bersifat adil, yang unsur – unsurnya adalah :
seorang perawi selalu memelihara kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT, mampu menjauhi perbuatan maksiat & dosa – dosa besar (contoh : syirik,durhaka pada ortu,bohong,zina dll), Mampu menjauhi dosa-dosa kecil (contoh: berkata kotor, ghobah, jajan gabrul, nyontek ), tidak melakukan perkara mubah  (diperbolehkan) yang dapat menggugurkan iman, harga diri dan kehormatan (contoh: jam satu malam seorang ulama “ngehiq”,memakai sandal selen,kaos kaki diinjak separo dll) , tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab/aliran/faham yang bertentangan dengan dasar syari’at Islam.


     Perawinya agak kurang daya ingatannya.
Seorang perowi yang mempunyai hafalan kurang sempurna serta memahami isi kandungannya terhadap hadits – hadits yang diterimanya, semenjak dia menerima hadits-hadits tersebut semasa masih menjadi murid hingga menyampaikannya kepada orang lain,yang jaraknya puluhan tahun.dan kekuatan hafalannya ini dibawah perowi hadits shohih dikeluarkan dan disampaikan kepada orang lain (para muridnya) kapanpun dan dimanapun dikehendaki secara spontan tanpa harus mengingat – ingatnya terlebih dahulu.Untuk kriteria hadits hasan hampir sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-annya. Hadits shahih ke-dhabith-an seluruh perawinya harus sempurna, sedang dalam hadits hasan, kurang sedikit ke-dhabith-annya jika dibandingkan dengan hadits shahih. ke-dhabith-an perawi hadits hasan nilainya memang kurang jika dibandingkan dengan perawi hadits shahih, karena ke-dhabith-an para perawi hadits shahih sangat sempurna.
Yang membedakan hadits shahih dan hadits hasan adalah pada tingkat daya ingatnya , dimana tingakatan kedhlabitan perawi hadits shahih diatas kedhlabitan perawi hadits hasan .






                             Untuk lebih jelasnya lihat bagan di bawah ini


 












Hadits di atas diterima oleh Imam Turmudzi melalui dua sanad:
Pertama         : dari Ali bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua             : dari Ahmad bin Mani', dari Hasyim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
                                    Rawi-rawi dalam sanad pertama cukup terpercaya, kecuali Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi yang dianggap lemah hafalannya.


·         Sanadnya Muttasil/bersambung (tidak terputus)
Contoh sanad muttasil :
Imam Ahmad berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id -  telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah -  telah menceritakan kepada kami Misyrah -  dari Uqbah bin Amir Radliyallahu ‘anhu dia berkata -  "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ....dst
Sanad menurut bahasa artinya jalan, thoriq, syari’, ringroad, gank, lorong , way, margi, dll.  Muttasil menurut bahasa ialah bersambung, berurutan, bergandengan, berkesinambungan, berjajar, jentrak-jentrek, dll.
Maka yang dimaksud sanadnya muttasil ialah tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima suatu berita hadits langsung dari guru yang memberi hadits tsb sampai kepada sumbernya yang asli yaitu Rasulullah SAW.
·         Tidak terjadi ‘illat 
Dalam bahasa arti ‘illat = penyakit, sebab, alasan, atau udzur. Secara istilah, arti ‘illat yaitu suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadits padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut. 
Misalnya sebuah hadits setelah diadakan penelitian ternyata ada sebab yang membuat cacat yang menghalangi terkabulnya, seperti perawi seorang fasik, tidak bagus hafalannya, seorang ahli bid’ah, dll. 



·         Tidak terjadi kejanggalan ( syadzdz )
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan. Sedangkan maksud syadzdz disini ialah periwayatan orang tsiqah (terpecaya yakni adil dan dhabit ) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Atau dengan kata lain tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya
Contoh syadzdz, seperti hadits yang diriwayatkan oleh muslim melalui jalan Ibnu Wahb sampai pada Abdullah bin Zaid dalam memberitakan  sifat-sifat wudhu’ Rasulullah :
Bahwa beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan di tangannya.
Sedang periwayatan Al-Baihaqi, melalui jalan  sanad yang sama mengatakan :
Bahwasannya beliau mengambil air untuk kedua telinganya selain air yang diambil untuk kepalanya.
Periwayatan Al-Baihaqi syadzdz ( janggal ) dan tidak shahih, karena periwayatan dari Ibnu Wahb seorang tsiqah, menyalahi periwayatan jama’ah ulama dan muslim yang lebih tsiqah. Syadzdz bisa terjadi pada matan suatu hadits atau pada sanad.




      Tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat
Tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

Penjelasan Syarat Menurut :
Abu Sulaiman al Khathabi
 Memberikan ta’rif hadist hasan sebagai berikut :
هو ما عُرف مخرجُه واشتهر رجاله وعليه مدارُ أكثرِ الحديث ويقبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء
“(Hadist hasan) yaitu hadist yang diketahui makhrajnya, para perawinya dikenal, kebanyakan hadist berkisar padanya, diterima kebanyakan ulama dan dipakai oleh ulama ahli fiqih pada umumnya”
·         Yang dimaksud dengan “diketahui makhrajnya” (ما عُرف مخرجُه) yaitu : tidak syadz dan perawi tidak bersendirian dalam periwayatannya.
·         Yang dimaksud dengan “perawinya dikenal” (واشتهر رجاله) yaitu : perawinya tidak tertuduh berdusta.
Imam at Tirmidziy
Memberikan batasan hadist hasan sebagai berikut :
كلّ حديث يُروي لا يكون في إسناده مَن يُتهَم با لكذِب ولا يكون الحديث شاذّا ويُروي مِن غير وجه نحوُ ذٰلك
“Yaitu setiap hadist yang di dalam sanadnya tidak kedapatan perawi yang tertuduh berdusta, tidak ada syadz, dan adanya riwayat lain yang semisalnya”.
·         Termasuk perawi yang tertuduh berdusta adalah : sangat ghaflah dan banyak salahnya.
·         Syadz terdapat pada matan atau sanadSyadz pada matan yaitu hadist yang matannya menyelisihi matan hadist yang paling shahih dalam suatu bab.  Syadz  pada sanad yaitu penyelisihan seorang perawi tsiqah terhadap perawi yang lebih tsiqah darinya (lihat penjelasan sebelumnya dalam pembahasan hadist shahih).
·         Yang dimaksud “adanya riwayat lain yang semisalnya” yaitu perawi tidak bersendirian di dalam periwayatannya.

C. MACAM-MACAM HADITS HASAN
·         Hasan li dzatihi
               Hadits hasan li dzatih adalah hadits yang memiliki persyaratan hadits hasan tersebut di atas. Hadits itu menjadi hadits hasan bukan karena diperkuat oleh hadits yang lain, tapi karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi semua syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi-rawinya kurang dlabit (kurang kuat hafalannya).
               Di antara hadits-hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih, sebagian tetap saja pada tingkatan hadits hasan tersebut, tetapi sebagian lainnya dapat naik pada tingkatan hadits shahih li ghairih. Bila suatu hadits hasan li dzatih tidak diperkuat oleh hadits yang lain yang berada pada tingkatan hadits shahih atau pada tingkatan hadits hasan li dzatih pula, maka hadits tersebut tetap berada pada tingkatan hadits hasan li dzatih.
               Sebaliknya, bila suatu hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih diperkuat oleh hadits yang lain (baik berada pada tingkatan hadits shahih maupun pada tingkatan hadits hasan li dzatih), maka hadits tersebut naik tingkatannya menjadi hadits shahih li ghairih. Hadits demikian dapat disebut secara lengkap hadits hasan li dzatih shahih li ghairih (hadits hasan karena dirinya, shahih karena lainnya), dan juga dapat disebut lebih singkat: hadits hasan shahih. Hanya saja perlu diketahui bahwa disamping ada ulama yang mengartikan sebutan hadits  hasan shahih dengan hadits hasan lidzatih shahih li ghairih, ada pula ulama yang mengartikan sebutan tersebut dengan dua hadits yang sama matannya, tapi hadits yang satu mempunyai sanad yang hasan, sedangkan hadits yang lain memiliki sanad yang shahih.
Contoh hadits hasan li dzatih adalah hadits tentang menyikat gigi menjelang shalat, yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Abu Hurairah (sudah dikemukakan pada pembahasan hadits shahih li ghairih).
لَوْلاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى لاَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
 (رواه البخارى والترمذى)
        Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat (HR Bukhari Tirmidzy)

·         Hasan li ghairih
               Adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan, karena ada hadits lain yang menguatkannya. Dengan kata lain, hadits hasan li ghairih adalah hadits dla'if yang karena dikuatkan oleh hadits lain, meningkat menjadi hadits hasan.
               Hadits dla'if yang dikuatkan oleh hadits dla'if yang lain bisa menjadi hadits hasan li ghairih, dan bisa pula tidak naik tingkatannya. Hal ini disebabkan keadaan hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if beraneka ragam. Hadits dla'if karena lemahnya hafalan rawi (padahal rawinya dikenal jujur), dapat meningkat menjadi hadits hasan li ghairih, bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleh rawi yang lemah hafalannya. Demikian pula hadits dha'if lain, yang disebabkan oleh tidak disebutkannya rawi tingkatan shahabat Nabi atau tidak dikenal salah seorang perawinya, dapat meningkat menjadi hadits hasan li ghairih, bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits yang lain.
               Tidak demikian halnya dengan hadits dla'if yang disebabkan oleh rawi yang dikenal pendusta atau dikenal fasik. Hadits dla'if seperti itu, bila dikuatkan oleh hadits lain yang serupa tidaklah hilang kedla'ifannya (kelemahannya), bahkan bertambah dla'if (bertambah lemah), jadi tidak bisa meningkat menjadi hadits hasan li ghairih.
Contoh hadits hasan li ghairih adalah:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ اَنْ يَغْتَسِلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ (رواه الترمذى)
Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: Merupakan hak atas kaum muslim, mandi pada hari jum'at". (HR. At Turmudzi)
Hadits di atas, diterima oleh Turmudzi melalui dua buah sanad, yang gambarannya sebagai berikut:



 













Hadits di atas diterima oleh Turmudzi melalui dua sanad:
Pertama         : dari Ali bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua             : dari Ahmad bin Mani', dari Hasyim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
          Rawi-rawi dalam sanad pertama cukup terpercaya, kecuali Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi yang dianggap lemah hafalannya. Karena itu, hadits yang dirawikan sanad pertama dipandang sebagai hadits dla'if. Rawi-rawi dalam sanad kedua juga cukup terpercaya, kecuali Hasyim yang dikenal mudallis (menyembunyikan cacat suatu hadits). Karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh sanad kedua juga dipandang sebagai hadits dla'if. Kedua hadits tersebut (karena ada dua sanad harus dihitung dua hadits) saling meguatkan, oleh sebab itu masing-masing hadits naik tingkatannya menjadi hadits hasan li ghairih.
Dinamakan hasan lighayrih karena kehasanannya disebabkan oleh faktor lain (dari luar), artinya hadis ini sebenarnya adalah tergolong da'if karena salah satu syarat untuk bisa dikategorikan hadis hasan atau shahih tidak terpenuhi, namun dikuatkan oleh adanya muttabi' atau syahid.




D. KEDUDUKAN HADITS HASAN
Para Ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadits hasan berada sedikit di bawah tingkatan hadits shahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber hukum Islam atau sebagai hujjah.Sebagian ulama menolak hadits hasan sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya jumhur (mayoritas) ulama memperlakukan hadits hasan seperti hadits shahih, mereka menerima hadits hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik dalam bidang hukum, moral maupun dalam bidang aqidah
.
E. CONTOH HADITS HASAN
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَال سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُقالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَال السُّيُوف ِ:
Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…”

(
Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits hasan lagi asing. Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits hasan karena para rawi hadits tersebut adalah tsiqat, kecuali Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i. Para Ahli al-Jarhi wa Ta'dil berselisih tentang ketsiqahan dan kedloifan Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i. Oleh karena itu hadits tersebut turun derajatnya dari shohih menjadi hasan.
Hadits yang diriwayatkan oleh al-timidzi, ibn majjah, dan ibn hibban dari al-hasan bin urfah al-maharibi dari muhammad bin amr dari abu salamah dari abi hurairah, bahwa nabi SAW bersabda:
اَعْمَارُ اُمَّتِيْ مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِلَى السَّبْعِيْنَ وَاَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku sekitar antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi yang demikian itu”.
Para perawi hadits di atas tsiqqah semua kecuali, Muhammad bin Amr dia adalahshaduq (sangat benar). Oleh para ulama hadits nilai ta’dil shaduq tidak mencapai dhabith tamm sekalipun telah mencapai keadilan, kedhabithannya kurang sedikit jika dibandingkan dengan kedhabithannya hadits shahih seperti tsiqqatun (terpercaya) dan sesamanya.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ.
Merupakan suatu hak bagi orang-orang muslim untuk mandi di hari Jum'at. Hendaklah salah seorang diantara mereka mengusapkan wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian.
Hadis ini dikatakan sbg hadits dloif, krn pd rawinya terdapat Ismail bin Ibrahim al-Taimi yg didloifkan oleh para ahli hadits. Akan tetapi hadits ini naik derajatnya menjadi hasan lighairihi krn selain dr jalur Ismail bin Ibrahim al-Taimi, ternyata juga terdapat jalur lain yg berasal dr Ahmad bin Manba' lalu Husyaim, dr Yazid bin Abi Ziyad. Selain itu hadits ini jg diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Husyaim, dari Yazid bin Ziyad. Kemudian hadits senada ttg kesunahan memakai wangi-wangian jg diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.

F. KITAB YANG TERDAPAT HADITS HASAN
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:

1.      Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.
2.      Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3.      Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.


G.  TINGKATAN HADITS HASAN
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
·         Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
·         Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
·         Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
·         Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.
·         Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.

Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.
Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”
Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
·         Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
·         Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
      Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
      Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.
      Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini (“Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar