Animation

Senin, 10 Agustus 2015

LDII (LEMBAGA DAKWAH INDONESIA)



LDII (LEMBAGA DAKWAH INDONESIA)

A.    LATAR BELAKANG LDII
Pendiri dan pemimpin tertinggi pertama gerakan ini adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Lahir pada tahun 1915 di Desa Bangi, Kec. Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Paham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama’ah/Darul Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam, Jama’ah yang didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol).
Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13 Januari 1972. Pengikut gerakan ini pada pemilu 1971 berafiliasi dan mendukung GOLKAR).
Aliran sesat yang telah dilarang Jaksa Agung 1971 ini kemudian dibina oleh mendiang Soedjono Hoermardani dan Jenderal Ali Moertopo. LEMKARI dibekukan di seluruh Jawa Timur oleh pihak penguasa di Jawa Timur atas desakan keras MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim di bawah pimpinan KH. Misbach. LEMKARI diganti nama oleh Jenderal Rudini (Mendagri), 1990/1991, menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia).
Penyelewengan utamanya, menganggap al-Qur’an dan as-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam atau amirnya). Gerakan ini membuat syarat baru tentang sahnya keislaman seseorang. Orang yang tidak masuk golongan mereka dianggap kafir dan najis.
Modus operandi gerakan ini mengajak siapa saja ikut ke pengajian mereka secara rutin. Peserta akan diberikan ajaran tentang shalat dan sebagainya berdasarkan hadits, lalu disuntikkan doktrin-doktrin bahwa hanya Islam model manqul itulah yang sah, benar. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, boleh ditebus dengan uang oleh anggota ini.

B.     TOKOH-TOKOH ALIRAN LDII
Puncak tertinggi sebagai penguasa adalah imam amirul mu’mini. Sejak wafatnya Nurhasan Ubaidah Lubis Amir (Madigol), tahta tersebut secara otomatis dijabat oleh anaknya yaitu Abdul Dhohir bin Madigol yang didampingi adik-adik kandungnya: Abdul Azis, Abdus Salam, Muhammad Daud, Sumaida’u (serta suaminya yaitu  Muhammad Yusuf sebagai bendahara) dan si bungsu Abdullah. Sang amir dikawal oleh semacam paswal pres yang diberi nama Paku Bumi. Penguasa dan pemimpin tertinggi pertamanya adalah Madigol Kadzdzab. Nama kebesaran dalam aliran kelompoknya ialah Al-Imam Nurhasan Ubaidah Lubis Amir. Dan nama kecilnya adalah Madigol/Madekal atau Muhammad Medigol, asli primbumi Jawa Timur. Ayahnya bernama Abdul Azis bin Thahir bin Irsyad. Lahir di Desa Bangi, Kec. Purwosari, Kab. Kediri Jawa Timur, Indonesia pada tahun 1915 M.
Tokoh Pendukung Aliran LDII
1.      Empat tokoh kerajaan yaitu Ahmad Sholeh, Carrik Affandi, Su’udi Ridwan dan Drs. M Nurzain yang telah diganti dengan Nurdin.
2.      Wakil amir daerah
3.      Wakil amir desa
4.      Wakil amir kelompok
5.      Wakil amir khusus TNI/POLRI, yaitu jama’ah, ABRI, RPKAD, BRIMOB, PGT AURI, MARINIR, KOSTRAD, dll.
6.      Wakil khusus muhajirin, juga ada tim empat serangkai yang terdiri atas para wakil amir, para aghniya’ (orang-orang kaya), para pengurus organisasi, serta mubaligh.

C.     POKOK-POKOK AJARAN LDII
1.      Orang Islam di luar kelompok mereka adalah kafir dan najis, sekalipun kedua orang tuanya.
2.      Kalau ada orang di luar kelompok mereka sholat di masjid mereka, maka bekas tempat sholatnya dicuci karena dianggap sudah terkena najis.
3.      Wajib taat kepada mir atau imam
4.      Mati dalam keadaan belum bi’at kepada amir/imam LDII, maka akan mati jahiliyyah (mati kafir)
5.      Al-Qur’an dan Hadits yang boleh diterima adalah yang manqul (yang keluar dari mulut imam/amir mereka) selainnya haram untuk dikuti.
6.      Haram mengaji Al-Qur’an dan Hadits kecuali kepada imam/amir mereka.
7.      Dosa ditebus kepada sang amir/imam, dan besarnya tebusan tergantung besar-kecilnya dosa yang dilakukan, sedang yang menentukannya adalah imam/amir.
8.      Harus rajin membayar infaq, shadaqah dan zakat kepada amir/imam mereka, dan haram mengeluarkan shadaqah, infaq, dan zakat kepada orang lain.
9.      Harta benda milik orang diluar kelompoknya halal untuk dimiliki, meskipun dengan cara mencuri, merampok, korupsi, ataupun cara keji lainnya.
10.  Mencuri harta orang lain diluar kelompok tidak berdosa kecuali sampai ketahuan mencuri.
11.  Haram menanyakan mau digunakan untuk apa zakat, shadaqah, ataupun infaq yang sudah diberikan kepada amir/imam.
12.  Haram membagikan hewan kurban ataupun fitrah kepada orang Islam diluar kelompok mereka.
13.  Haram menjadi makmum imam yang diluar kelompok mereka, jika terpaksa maka tidak usah berwudhu dan sholat harus diulangi lagi.
14.  Haram nikah dengan orang diluar kelompok.
15.  Wanita LDII jika ingin bertamu ke rumah orang di luar kelompok maka memilih waktu saat haid.
16.  Jika ada orang diluar kelompok yang bertamu ke rumah mereka, maka bekas tempat duduknya harus dicuci karena dianggap terkena najis.
17.  Ada ajaran Manqul dan ajaran Bai’at.

AHMADIYAH



AHMADIYAH

A.    LATAR BELAKANG
Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India. Mirza lahir pada 15 Februari 1835 M dan meninggal pada 26 Mei 1906 M di India. Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 dengan latar belakang sikap ingin tahu beberapa pemuda Indonesia yang berasal dari pesantren/madrasah Thawalib, Padang Pajang, Sumatera Barat.
Thawalib yang beraliran modern, berbeda dengan institusi-institusi Islam ortodox masa itu, yang para santrinya tidak hanya mendalami bahasa Melayu dan bahasa Arab, melainkan juga diperkenankan membaca tulisan Latin.
Beberapa santrinya membaca surat kabar tentang orang Inggris yang masuk Islam melalui seorang da’i Islam yang berasal dari India, Khwaja Kamaluddin. Dan hal inilah yang menjadi pemicu rasa penasaran beberapa santri tersebut untuk mencari tokoh tersebut. Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad Nuruddin adalah tiga orang santri Thawalib yang berangkat untuk tujuan tersebut. Mereka sampai di Lahore (masa itu masih bagian dari India,kini masuk wilayah Pakistan) pada tahun 1923.
Dari Lahore meraka lebih masuk ke Qadian dan berdialog dengan pimpinan Ahmadiyah pada saat itu, Khalifatul Masih II ra. Dan akhirnya mereka bai’at dan belajar di Qadian mendalami Ahmadiyah. Atas permohonan mereka maka dikirimlah utusan pertama jamaat Ahmadiyah ke Indonesia pada tahun 1925, Hz.Mlv.Rahmat Ali ra..
Pusat jamaat Ahmadiyah pada tahun 1935 berpusat di Jakarta dan pada tahun 1987 pindah ke Parung, Bogor. Kini Ahmadiyah sudah memiliki sekitar 200 cabang, terutama di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB, dan lain-lain.  Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah “Sinar Islam”, Studi Islam dan Fathi Islam.
Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka pun telah menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan orang yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam (No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam fatwa resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Umar Shihab dan Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin. Kemudian Dirjen Bimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah.

B.     PEMIMPIN AHMADIYAH
Setelah wafatnya pendiri jamaat Ahmadiyah, gerakn ini dipimpin oleh para khalifah:
1)      Khalifah Masih I: Hazrat Maulvi Nurrudin (1908-1914)
2)      Khalifah Masih II: Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965)
3)      Khalifah Masih III: Hazrat Hafiz Nasir Ahmad ( 1965-1983)
4)      Khalifah Masih IV: Mirza Tahir Ahmad (1983-2003)
C.     POKOK – POKOK AJARAN AHMADIYAH (SESAT)
Aliran Sesat, Ahmadiyah Lahore dan Qadian berkeyakinan bahwa:
a.       Nabi Isa as benar-benar disalib di tiang salib oleh orang-orang Yahudi, tetapi tidak sampai wafat, hanya mengalami luka-luka dan pingsan saja, sebagaimana klaim Mirza Ghulam Ahmad.
b.      Nabi Isa as tidak diangkat ke langit. Keyakinan bahwa nabi Isa as diangkat ke langit adalah mengikuti keyakinan Kristen, demikian klaim Mirza Ghulam Ahmad.
c.       Nabi Isa as telah wafat dan konon  makamnya ditemukan di desa Mohalla Khan Yar, Srinagar, Kashmir, sesuai klaim Mirza Ghulam Ahmad.
d.      Oleh karena nabi Isa as telah wafat, maka Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang dijanjikan itu, sebagaimana klaim Mirza Ghulam Ahmad sendiri.
e.       Keyakinan Islam tentang turunnya kembali nabi Isa as ke dunia mendekati hari kiamat adalah mengikuti keyakinan Kristen (lihat butir 2). Menurut Mirza Ghulam Ahmad, nabi Isa as tidak akan turun lagi ke dunia karena sudah wafat, sehingga al-Masih yang diramalkan akan turun itu adalah dirinya sendiri.
f.       Nabi Muhammad saw adalah nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari sekalian para nabi Allah,  sebagaimana klaim Mirza Ghulam Ahmad. Hal ini dimaksudkan agar “kenabian” Mirza Ghulam Ahmad dapat diterima oleh umat Islam.
g.      Mereka memiliki kitab suci sendiri, yaitu Tadzkirah.
h.      Mereka meyakini bahwa kitab suci Tadzkirah sama sucinya dengan kitab suci Al-Qur’an karena sama-sama wahyu dari Allah.
i.        Mereka mempunyai tempat suci sendiri yaitu Qadian dan Rabwah.
j.        Wanita Ahmadiyah dilarang menikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyah, namun laki-laki Ahmadiya boleh menikah dengan wanita yang bukan Ahmadiyah.
k.      Tidak boleh bermakmum dengan imam yang bukan Ahmadiyah.
l.        Ahmadiyah memiliki penanggalan sendiri, yaitu nama bulan: 1. Suluh, 2. Tabligh, 3. Aman, 4. Syahadah, 5. Hijrah, 6. Ikhsan, 7. Wafa, 8. Zuhur, 9. Tabuk, 10. Ikha, 11. Nubuwah, 12. Fatah. Sedang nama tahun mereka adalah Hijri Syamsi (disingkat HS).
m.    Ajaran mereka menganggap orang yang bukan pengikut Ahmadiyah itu adalah kafir.
Ajaran Ahmadiyah ini sering berubah - ubah seiring perkembangan zaman, tidak punya prinsip dan pedoman yang jelas. Hal ini berbeda dengan ajaran Islam yang senantiasa tegas sepanjang masa.
Berbeda dengan Ahmadiyah Qadian, Ahmadiyah Lahore menyangkal klaim Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul Allah, tetapi mereka tetap berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih yang dijanjikan oleh nabi Muhammad saw. Sangkalan ini tentu saja sangat ironis mengingat Al-Masih yang dijanjikan oleh nabi Muhammad saw adalah Isa PUTRA MARYAM, seorang nabi dan rasul Allah. Jika Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih yang dijanjikan, maka sudah barang tentu statusnya sama dengan Isa PUTRA MARYAM, yang berarti Mirza Ghulam Ahmad juga seorang nabi dan rasul Allah (hal ini tentunya bertentangan dengan QS. 33:40 yang menegaskan bahwa Muhammad adalah penutup para nabi).

HADITS DHOIF



HADITS DHOIF

1.1  PENGERTIAN HADITS DHOIF
Hadits dho’if secara bahasa berarti lemah artinyabahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhoif ini akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda.
Pendapat Ulama mengenai pengertian hadits dlo’if :
·         An-Nawawi mendefinisikannya dengan :
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”.
·         As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul
Beberapa definisi,diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan.
2.    Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih atau yang hasan)
3.    Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah  hadits yang jika satu syaratnya hilang


1.2  SEBAB- SEBAB DIKATAKAN HADITS DHOIF
Adapun sebab dikatakan hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan hadits hasan yang tidak terdaoat padanya, yaitu sebagai berikut :
1.      Sanadnya tidak bersambung
Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
·         Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
·         Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
·         Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
·         Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
·         Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
·         Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala

·         Sanad yang dinisbatkan kepada Abu bakar As-Shiddiq yaitu Ibnu musa ad-daqiqi dari farqid as-subkhi dari marrah ath-thaibi dari abu bakar
·         Sanad orang-orang syam yaitu Muhammad bin qaisyin al-mashlubi dari ubaidillah bin jahri dari ‘ali bin yazid dari qasim dari abi umamata.
·         Sanad yang dinisbatkan kepada ibnu ‘abbas yaitu assudi ash-shaghiri Muhammad bin marwan dari kalbi dari abi shalih dari ibnu abbas. Menurut ibnu hajar bahwa ini adalah silsilah dusta.
b.  Kurang adilnya perawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
·         Pendusta
·         Tertuduh dusta
·         Fasiq
·         Bid’ah
·         Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
·         Jelek hafalannya
·         Lalai
·         Banyak
·         Menyelisihi yang tsiqat
·         Ucapan yang menipu
c.       Kurang dhobithnya perawi
Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi ada 10 macam
1.      Dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya dusta disebut hadits maudlu'.
2.      Tertuduh dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3.      Fasiq.
4.      Banyak salah.
5.      Lengah dalam menghafal. Hadits dla'if yang karena rawinya fasiq, banyak salah, dan lengah disebut hadits munkar.
6.      Banyak waham (purbasangka). Hadits dla'if yang karena rawinya waham disebut hadits mu'allal.
7.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan. Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut karena dengan penambahan suatu sisipan maka hadits ini disebut hadits mudraj; Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan memutar balikkan, maka hadits ini disebut hadits maqlub; Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan menukar-bukar rawi, maka hadits ini disebut hadits mudltharib, Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan merubah syakal – huruf, maka hadits ini disebut hadits muharraf; dan kalau perubahan itu tentang titik-titik kata, maka hadits ini disebut hadits mushahhaf.
8.      Tidak diketahui identitasnya (jahalah). Hadits dla'if yang karena jahalah ini disebut hadits mubham.
9.      Penganut bid'ah. Hadits dla'if yang karena rawinya penganut bid'ah disebut hadits mardud.
10.  Tidak baik hafalannya. Hadits dla'if yang karena ini disebut hadits syadz dan mukhtalith.
d.      Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
e.       Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.

1.3  MACAM – MACAM HADITS DHOIF
Hadits dhoif sangat banyak macamnya, masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu sama lain. Hadits dhoif yang memiliki kekurangan satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih. Namun hadits hasan lebih baik daripada hadits dhoif yang memiliki kekurangan dua syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan.Dan begitu seterusnya.
Berdasarkan sebab-sebab di atas maka macam-macam hadits dhoif ini digolongkan menjadi beberapa kelompok di antaranya :


Dhoif Karena Tidak Bersambung Sanadnya
      I.            KETERPUTUSAN YANG JELAS
A.    HADITS MUNQOTHI’
a.      Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim fa’il dari kata الانْقِطَاع . Dikatakan اِنْقَطَعَ الْحَبْلُ يَنْقَطِعُ انْقِطَاعاً فَهُوَ مُنْقَطِعٌ  maksudnya adalah jika tali itu tidak bersambung.
Menurut istilah
Ada empat buat pendapat, yaitu :
a)      Yaitu hadits yang sanadnya terputus satu rawi atau lebih sebelum sahabat, tidak secara berurutan. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits dan inilah pendapat yang benar.
b)      Yaitu setiap hadits yang sanadnya tidak bersambung. Ini adalah pendapat para ahli fiqih dan ilmu ushul fiqih serta beberapa kelompok ahli hadits, diantaranya adalah Al Khothib Al baghdadi dan Ibnu Abdil Barr.
c)      Yaitu riwayat yang disandarkan kepada tabi’in dan generasi sesudahnya, baik berupa perkataan atau perbuatannya. Ini adalah pendapat Al Bardaiji. Ibnush Sholah berkata : “Pendapat ini adalah aneh dan jauh dari kebenaran”.
d)      Yaitu perkataan seorang laki-laki dengan tanpa sanad bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata demikian. Ini adalah Pendapat Al Kayya Al Harrasy. Ibnush Sholah berkata : “Tidak ada orang lain selainnya yang berpendapat demikian”. 
b.      Contohnya
إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِه   
“Sesungguhnya diantara kesempurnaan keimanan seseorang adalah yang paling baik akhlaknya dan yang paling lemah lembut kepada keluarganya”. (Ahmad dan Hakim dari jalur Abu Qilabah dari Aisyah secara marfu’. Dan sanadnya adalah munqothi’ karena Abu Qilabah tidak mendengar dari Aisyah).
c.       Bagaiamanakah Keterputusan Sanad Itu Diketahui
Diketahui dengan tidak adanya pertemuan antara perawi dan orang yang diriwayatkan darinya, baik karena dia tidak semasa dengannya atau semasa dengannya, tetapi keduanya tidak pernah bertemu.Yang menegaskan hal ini adalah mengtahui kelahiran-kelahiran dan kematian-kematian para perawi.
d.      Hukumnya
Hadits ini ditolak karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang terbuang dari sanad itu.

B.     HADITS MU’DLOL
a.  Definisinya
Menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari إعْضَال  diaktakan أعْضَلَهُ الأمْرُ يُعْضِلُهُ إعْضَالاً فَهُوَ مُعَضَّلٌ  maknanya adalah menyulitkannya. Dan dikatakan : أعْضَلَ الأمْرُ  maknanya adalah menjadi keras dan sulit. Dan dikatakan : أعْضَلَنِيْ فُلانٌ  maknanya adalah urusan seseorang itu menyuliskan saya.
Menurut istilah
Yaitu hadits yang sanadnya terputus dua orang perawi atau lebih secara beruntun.
b.      Contohnya
Perkataan Imam Malik : “Telah sampai berita kepadaku dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Seorang budak itu berhak mendapatkan makanannya dan pakaiannya dengan cara yang makruf dan dia tidak dibebani pekerjaan kecuali yang dia mampui”. Sanadnya adalah mu’adlol.Karena Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah melalui perantara dua orang perawi.Dan keduanya tidak disebutkan di dalam riwayat itu”.
c.       Hukumnya
Ini termasuk ditolak karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang tidak disebutkan dalam sanad itu.

C.    HADITS MURSAL
a.      Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu merupakan bentuk isim maf’ul dari kata أرْسَلَ الشَّيْءَ يُرْسِلُهُ إرْسَلاً  maknanya adalah dia memutlakkannya dan tidak memberikan batasan.

Menurut istilah
Ada empat pendapat, yaitu :
·         Yaitu riwayat tabi’in secara mutlak langsung dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah pendapat kebanyakan para ahli hadits, diantaranya adalah Hakim, Ibnu Sholah, Ibnu Hajar dan yang lainnya dan inilah pendapat yang benar.
·         Yaitu irwayat tabi’in senior dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
·         Yaitu yang terputus sanadnya ditempat yang manapun dari suatu sanad. Ini adalah pendapat para ahli fiqih dan Ushul Fiqih serta eberapa kelompok ahli hadits, diantaranya adalah Al Khothib Al Baghdadi, Abul Hasan bin Al Qothon dan An Nawawi.
·         Yaitu hadits yang sahabat dibuang di dalam sanadnya. Ini adalah pendapat Al baiquni. Pendapat ini dikritik.
b.      Contohnya

Ibnu Sa’ad berkata di dalam Kitab Ath Thobaqot : “Waki’ bin Al Jarrah memberikan berita kepada kami, A’masy memberikan berita kepada kami dari Abu Sholih bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai para manusia, sesungguhnya saya adalah rahmat yang memberikan petunjuk”. Abu Sholih As Simani adalah seorang tabi’in.


c.       Kehujjahannya

Para ulama berselisih menjadi tiga buah pendapat, yaitu :

·         Dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Ini dibatasi jika seorang tabi’in itu tidak meriwayatkan kecuali hanya dari perawi yang tsiqoh saja. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya, pendapat Imam Malik dan para pengikutnya serta merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

·         Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama hadits, diantaranya adalah Muslim bin Al Hajjaj, Abu Hatim, Hakim, Ibnu Sholah, Nawawi dan Ibnu Hajar.

·         Dapat dijadikan sebagai hujjah jika memenuhi slah satu dari tiga buah kriteria, yaitu :

·         Jika ada yang lainnya yang menyebutkan sanadnya atau ada riwayat lain yang mursal, sedangkan guru keduanya adalah rawi yang shahih.
·         Jika dikuatkan oleh pendapat dari seorang sahabat.
·         Jika dikenal bahwa dia tidak menyebutkan riwayat mursal, kecuali dari orang-orang yang adil. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
d.      Mursal sahabat
Yaitu riwayat seorang sahabat dari seseorang yang tidak diketemuinya atau dia tidak hadir di sana.Contohnya adalah perkataan Aisyah : “Sesungguhnya wahyu pertama yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berupa mimpi yang baik”. (Bukhari dan Muslim).Apakah riwayat ini dapat dijadikan sebagai hujjah ? Ada dua buah pendapat :
·         Dapat dijadikan sebagai hujjah, karena semua sahabat adalah adil. Ini adalah pendapat kebanyakan para ahli hadits dan inilah pendapat yang benar.
·         Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali jika dikenal bahwa dia tidak meriwyatkan kecuali hanya dari sahabat yang lain. Ini adalah pendapat beberapa kelompok ahli Ilmu Ushul Fiqih, seperti Abu Ishaq Al Isfarayini.

D.    HADITS MU’ALLAQ
a.      Definisinya
Menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata التَّعْلِيْقُ  .
Dikatakan : عَلَّقَ الشَّيْء بِالِشَّيْءِ يُعَلِّقُهُ تَعْلِيْقًافَهُوَ مُعَلَّقٌ  maknanya adalah mengikatnya dengan sesuatu dan menjadikannya tergentung. Sanad ini disebut sebagai mu’allaq karena hanya tersambung dengan bagian atas saja dan terputus dari sisi bawahnya, maka jadilah dia seperti sesuatu yang tergantung di atas langit-langit atau yang semisalnya.
Menurut istilah
Yaitu hadits yang dibuang dari awal sanad seorang rawi atau lebih secara berurutan.
b.      Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Majisyun dari Abdullah Al Fadl dari Abu hurairah secara marfu’ : “Janganlah kalian membanding-bandingkan (untuk melebihkan) diantara para nabi”.
c.       Bentuk-bentuknya
·         Jika semua sanadnya dibuang
·         Jika semua sanadnya dibuang kecuali hanya sahabat.
·         Jika semua sanadnya dibuang kecuali hanya sahabat dan tabi’in.
·         Jika orang yang menceritakan hadits itu saja yang dibuang.
d.      Hukumnya
Ini termasuk diantara hadits yang ditolak karena sanadnya tidak bersambung dan karena ketidak tahuan terhadap keadaan rawi yang dibuang dari sanad itu. Tetapi kadang-kdang hadits itu dapat diterima jika memiliki jalur-jalur periwayatan yang lain yang di dalamnya dia menyebutkan rawi yang dibuang itu dan dia adalah seorang yang tsiqoh atau seseorang yang sangat jujur.





II.            KETERPUTUSAN YANG SAMAR
A.    Mudallas
a.      Definisinya
Menurut bahasa
Merupakan bentuk  isim maf’ul dari kata تَدْلِيْس .
Dikatakan : دَلَّسَ يُدَلِّسُ تَدْلِيْسًا فَهُوَ مُدَلِّسٌ وَمُدَلَّسٌ  maknanya adalah menyembunyikan aib barang dagangan dari padangan pembeli. Adakr katanya diambil dari kata الدَّلْسً  yaitu bercampurnya kegelapan. Dan التَّدَلُّسُ  maknanya adalah menyembuyikan.
Menurut istilah ada dua macam pengetian, yaitu :
1.      Tadlis sanad
·         Definisinya
Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan dari seseorang yang dia pernah betemu dengannya yang tidak pernah mendegarkan langsung darinya, untuk mngisyaratkan seolah-olah dia mendengar darinya.Hukum riwayat dari orang yang dikenal dengan tadlis ini
Para ulama berselisih menjadi lima buah pendapat :
·         Menolaknya secara mutlak, baik mereka itu menjelaskan mendengar darinya atau tidak menjelaskan. Ini adalah pendapat beberapa ulama Madzhab Maliki.
·         Menerimanya secara mutlak, baik mereka menjelaskan mendengarkannya darinya atau tidak menjelaskanya. Pendapat ini diceritakan oleh Al Khothib di dalam Kitab Al Kifayah dari beberapa ulama.
·         Jika dia tidak melakukan tadlis kecuali dari orang-orang yang tsiqoh, maka tadlisnya diterima. Dan jika tidak, maka tidak diterima. Ini adalah pendapat Al bazar, Al Azdi, Ash Shoirofi, Ibnu Hibban dan Ibnu Abdil Barr.
·         Jika tadlis darinya itu sedikit, maka riwayatnya diterima. Dan jika banyak, maka tidak diterima. Ini adalah pendapat Ali bin Al Madini.
·         Diterima riwayatnya jika dia adalah seorang yang tsiqoh dan dia menegaskan telah mendengarkan darinya. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama ahli hadits. Dan inilah pendapat yang benar.
Para rawi yang dikenal melakukan tadlis seperti ini
Jumlah mereka adalah banyak, seperti Muhammad bin Ishaq, Ibnu Juraij, Qotadah dan lain-lain.
2.      Tadlis Syuyukh (para guru)
·         Definisinya
Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang guru (syeikh), kemudian dia menyebutkan namanya, atau kunyah atau nisbatnya atau menyebutkan sifatnya dengan sifat yang tidak dikenal agar dia tidak diketahui.
·         Contohnya
Athiyah bin Sa’ad Al ‘Aufi.
Sesungguhnya dia belajar kepada Abu Sa’id Al Khudri dan meriwayatkan darinya. Ketika Abuy Sa’id Al Khudri telah wafat, maka dia belajar kepada Al kalbi, yang dituduh berbohong. Ketika dia meriwayatkan darinya, maka dia berkata : “Abu Sa’id telah bercerita kepadaku”. Maka orang-orang yang mendengar akan menyangka bahwa maksudnya adalah Abu Sa’id Al khudri, tetapi sebenarnya yang dia maksud adalah Al Kalbi.
Macam-macam tadlis yang lain yang termasuk kelompok pertama
1.      Tadlis taswiyah (penyamaan)
·         Bentuknya
Yaitu jika seseorang yang melakukan tadlis itu menyebutkan sebuah hadits yang dia dengarkan dari seorang guru yang tsiqoh, dan guru yang tsiqoh itu mendengarnya dari guru yang dlo’if yang dia dengarkan dari guru yang tsiqoh. Maka orang yang melakukan tadlis itu yang mendengar dari guru yang tsiqoh yang pertama itu menghilangkan guru yang dlo’if itu dan menjadikannya langsung dari riwayat guru tsiqoh yang kedua dengan suatu kata yang mengandung beberapa penafsiran muhtamal seperti عَنْ(dari) dan yang semisalnya, sehingga jadilah sanad itu seluruhnya tsiqoh dan dia menegaskan telah mendengarkannya dari gurunya.
·         Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahaweh dari Baqiyah bahwa dia berkata : “Abu Wahab Al Asadi bercerita kepadaku dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’ : “Janganlah kalian memuji keislaman seseorang sehingga kalian mengetahui pemikirannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidillah dari Ishaq bin Abi farwah dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’ dan kunyah Ubaidillah bin Amru adalah Abu Wahab dari Bani Asad. Maka Baqiyyah menyebutkan kunyahnya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak dikenal, sehingga ketika dia menghilangkan Ishaq bin Farwah di tengah-tengah sanad, maka tidak ada yang mengetahuinya.
2        Tadlis ‘athf  (kata sambung)
Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan dari dua orang guru yang mereka berdua mendengarkannya dari seorang guru. Dia mendengar dari salah satu dari keduanya saja. Kemudian dia menegaskan telah mendengar dari guru pertama dan menyebutkan ‘athaf (kata sambung, dan) untuk guru kedua, sehingga disangka bahwa guru itu bercerita kepadanya juga, padahal dia hanya mendengar dari guru pertama saja dan dia bermaksud memutus pendengaran itu. Dia berkata : وَ فُلان  (dan fulan). Maksudnya adalah fulan dan fulan telah bercerita kepada kami.

B.     Mursal Khofi (yang samar)
a.       Defisinya
Yaitu keterputusan dimanapun tempatnya antara dua orang rawi yang satu generasi yang tidak pernah bertemu.
b.      Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Al Awwam bin Huwaisyib dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa dia berkata : “jika Bilal berkata : “Qad qomatish sholah”, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan bertakbir”. Al Awwam ini tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abi Aufa.

c.       Hukumnya
Ini termasuk hadits yang ditolak karena sanadnya tidak bersambung

Dlo’if Ditolak Karena Adanya Cela Pada Perawinya
A.           MATRUK
a.      Definisinya
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh melakukan kebohongan dan hadits itu tidak dikenal kecuali darinya saja dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah dikenal.
b.      Sebab tuduhan seorang rawi melakukan kebohongan
·         hanya sendirian meriwayatkan hadits itu.
·         Jika dia dikenal pembohong pada selain hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
·         Haditsnya bertentangan dengan kaidah-kaidah yang dikenal dengan mudah dalam agama.
c.       Contohnya
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin Syamr dari Jabir Al ju’fi dari Al Harits Al A’war dari Ali secara marfu’.

B.           MAJHUL
a.      Sebab-sebab kemajhulan
·         Jika sifat-sifat rawi itu banyak, seperti namanya, kunyahnya, sifatnya atau nisbatnya, kemudian dia trekenal dengan salah satunya, kemudian disebutkan dengan yang lainnya karena adanya suatu tujuan tertentu, sehingga disangka bahwa dia adalah orang yang lain. Maka jadilah keadaannya menjadi tidak dikenali.
·         Jika dia hanya sedikit meriwayatkan hadits sehingga jarang orang belajar kepadanya.
·         Tidak disebutkan dengan jelas namanya.

Al Mubham (yang disamarkan)
a.      Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari : أبْهَمَ الأمْرَ يُبْهِمُهُ إبْهَامًا فَهُوَ مُبْهَم  maknanya adalah  sesuatu yang tidak dijelaskan.
Menurut istilah
Yaitu seorang rawi yang tidak disebutkan di dalam sanad atau di dalam matan hadits.
b.      Hukum riwayat rawi yang mubham
Ada dua pendapat :
·         Tidak diterima. Inilah pendapat yang benar menurut ahli hadits.
·         Dapat diterima secara mutlak.
c.       Macam-macamnya
Jika dikatakan : “seorang laki-laki” atau “seorang perempuan”.
Jika dikatakan : “anak laki-laki si fulan” atau “anak perempuan si fulan”.
Jika dikatakan : “pamannya” atau “bibinya”.
Jika dikatakan : “suami si fulan” atau “istri si fulan”.
d.      Contohnya
Imam Ahmad berkata : “Abu Kamil bercerita kepada kami, Hammad bercerita kepada kami dari Abu Imran Al Juni dari seorang laki-laki dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika kamu bermaksud untuk melunakkan hatimu, maka berikanlah makan kepada orang yang miskin dan usaplah kepala anak yatim”.

e.       kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
Al Mustafad min mubhamatil matni wal isnad karya Waliyuddin Al ‘Iraqi
Al Ghowamidl wal mubhamat karya Ibnu Basykawal
Al Isyarat ilal mubhamat karya An Nawawi.
Al Idloh ‘anil mu’jam minal ghomidl wal mubham karya Al Qutb A Qastholani.
Macam-macam rawi yang majhul
Majhulul ‘ain (tidak dikenal pribadinya)
Yaitu seseorang yang disebutkan namanya tetapi hanya satu buah hadits saja yang diriwayatkan darinya.
a.       Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Hakim dari jalur Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman An naufali dari Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari bapaknya dari kakeknya secara marfu’ : “Cintailah Allah karena kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya kepada kalian. Cintailah aku karena mencintai Allah. Dan cintailah ahlul baitku karena mencintaiku”. Abdullah bin Sulaiman An naufali adalah tidak dikenal diri pribadinya.
b.      Hukum riwayatnya
·         Ditolak riwayatnya. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits.
·         Dapat diterima riwayatnya.

Majulul hal (tidak dikenal keadaannya)
a.       Definisinya
·         yaitu orang yang tidak diriwatkan jarh (celaan) dan ta’dil (pujian) tentangnya
·         yaitu orang yang diriwayatkan darinya oleh lebih dari satu orang, tetapi tidak dinyatakan sebagai orang tsiqoh.
b.      Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari jalur ‘Utsam bin Ali dari A’masy dari Abu Ishaq dari Hani’ bin Hani’ bahwa dia berkata : ” Ammar masuk menghadap Ali. Dia berkata : “Selamat datang wahai orang yang bersih yang dibersihkan. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ammar telah dipenuhi dengan keimanan sampai ke tulang-tulangnya”.
c.       Hukum riwayatnya
·         Ditolak riwayatnya. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits.
·         Dapat diterima riwayatnya

C.           BID’AH
a.      Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk mashdar dari : بَدَعَ يَبْدَعُ بِدْعَةً  maknanya adalah membuat sesuatu yang baru.
Menurut istilah
Sesuatu yang baru di dalam agama setelah agama itu disempurnakan.
b.      Macam-macamnya
·         Menyebabkan kekafiran
Seperti pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan itu bersatu dengan Ali. Riwayat orang yang dituduh melakukan bid’ah kekafiran diperselisihkan menjadi empat buah pendapat :
·         menolak riwayatnya secara mutlak. Ini adalah pendapat kebanykan ahli hadits.
·         Menerimanya secara mutlak.
·         Jika dia tidak berkeyakinan bahwa berbohong untuk mendukung madzhabnya adalah halal, maka riwayatnya diterima. Jika tidak, maka tidak diterima. Ini adalah pendapat Ar Razi dan Al Baidlowi dan ditarjih oleh Al Asnawi.
·         Riwayat seseorang yang menentang sesuatu yang mutawatir dari syari’at yang dikenal secara luas dari agama ini dengan mudah. Ini adalah pendapat Al hafidz Ibnu Hajar.
·         Menyebabkan kefasikan
Seperti mencela para sahabat. Riwayat orang yang dituduh melakukan bid’ah kefasikan diperselisihkan menjadi lima buah pendapat :
·         ditolak secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Bakar Al Baqilani dan Ibnul Hajib.
·         Diterima secara mutlak.
·         Jika dia tidak berkeyakinan bahwa berbohong untuk mendukung madzhabnya adalah halal, maka riwayatnya diterima. Jika tidak, maka tidak diterima.. Ini adalah pendapat Syafi’I, Sufyan Ats Tsauri dan Abu Yusuf Al Qodli. Ar Razi berkata : “Pendapat inilah yang benar”. Pendapat ini ditarjih oleh Ibnu Daqiqil ‘id.
·         Riwayat orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya dapat diterima dan riwayat orang yang menyeru kepada bid’ahnya tidak dapat diterima. Ini adalah pendapat Ahmad, Ibnu Mahdi, Ibnul Mubarak, Ibnu Ma’in, Ibnu Sholah dan An Nawawi.
·         Riwayatnya yang mendukung bid’ahnya ditolak. Ini adalah pendapat Abu Ishaq Al jauzani.

Dlo’if Karena Adanya Cela Pada Kedlabitan (Kekuatan Hafalan) Para Perawi

A.    MUNKAR

a. Definisinya

Menurut bahasa

Merupakan bentuk isim maf’ul dari إنْكَار  (pemungkiran) yang merupakan lawan إقْرَار  (pengakuan).
Menurut istilah
Ada dua buah pendapat :
1)   Yaitu hadits yang rawinya hanya sendirian meriwayatkannya
2)   Orang yang dla’if meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan orang yang tsiqoh. Inilah istilah yang kemudian ditetapkan.
b.      Syarat-syaratnya
·         jika rawi itu hanya sendirian meriwayatkan hadits itu
·         bertentangan dengan orang-orang yang tsiqoh.
c.       Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari jalur Usamah bin Zaid Al Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari bapaknya secara marfu’ : “Orang yang berpuasa pada Bulan Ramadlan pada waktu bepergian itu sama dengan orang yang berbuka pada dia mukim”. Hadits ini adalah munkar. Karena Usamah bin Zaid meriwayatkannya secara marfu’. Maka dia bertentangan dengan seseorang yang tsiqoh, yaitu Ibnu Abi Dzu’aib yang meriwayatkannya secara mauquf kepada Abdurrahman bin Auf.

B.     MU’ALLAL
a.      Definisinya
menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari : أعَلَّ يُعِلُّ إعْلالاً فَهُوَ مُعَلٌّ. Dan kata illat maknanya adalah penyakit. Dikatakan : عَلّ يَعِلُّ   dan اْعْتَلَّ  maknanya adalah sakit. فَهُوَ مُعَلٌّ maknanya dia dinyatakan sakit.
menurut istilah
yaitu sebuah hadits yang di dalamnya ada suatu cacat yang mengurangi keshahihannya walaupun kelihatannya terbebas dari cela itu.
illat menurut istilah adalah :
suatu ungkapan untuk menunjukkan sebab-sebab yang samar yang pelik yang terjadi pada sebuah hadits yang mengurangi keshahihannya wlaupun ketihatannya trebebas darinya.
letak illat
illat itu dapat terjadi pada sanad dan pada matan hadits. Tetapi terjadinya di sanad adalah lebih banyak.
b.      Contohnya
Hadits Musa bin Uqbah dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ : “Sesungguhnya Alah telah menghilangkan pakaian jahiliyah dari kalian”. Rawi hadits ini salah dalam memberikan nama Musa bin Uqbah. Tetapi sebenarnya adalah Musa bin Ubaidah. Ibnu Uqbah adalah tsiqoh dan Ibnu Ubaidah adalah dla’if.
c.       Bagaimanakah illat itu diketahui
Illat itu diketahui dengan cara mengumpulkan jalur-jalur periwayatan hadits dan melakukan penelitian terhadap perbedaan-perbedaan para rawi dan menyelidikan kedudukan hafalan mereka serta sejauh mana penguasaan mereka dan kedlabithan mereka.
d.      Kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
a.       Al ‘ilal wa ma’rifatur rijal karya Imam Ahmad
b.      Az Zuhar Al Muthawwal fil hadits al mu’allal karya Ibnu Hajar
c.       ‘ilalul hadits karya Ibnu Abi Hatim
d.      Al ‘ilal karya Ad Daruquthni.

C.     MUDRAJ
a.      Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari أدْرَجَ الشَّيْء فِيْ الشَّيْءِ  يُدْرِجُه إدْرَاجًا  maknanya adalah memasukkan sesuatu kepada seuatau yang lain dan menggabungkannya dengannya.





Menurut Istilah
Ada dua macam :
1)      Idraj matan
a)      Definisinya
Yaitu matan yang ditambahkan yang bukan berasal darinya 
b)      Tempatnya
Kadang-kadang terjadi di awal haditskadang-kadang di pertengahan hadits dan kadang-kadang di akhir hadits.
c)      contohnya
Hadits Abu hurairah : “Sempurnakanlah wudlu’. Celakalah tumit-tumit dari api neraka”.Perkataan : Sempurnakanlah wudlu’ adalah dari perkataan Abu Hurairah.
2)      Idraj Sanad
a)      Definisinya
Yaitu yang susunan sanadnya dirubah
b)      Macam-macamnya
Ada tiga macam. Kami menyebutkan yang pertama saja dan memberikan contohnya, yaitu :
Jika seorang \rawi itu memiliki dua buah matan dengan dua buah sanad, kemudian dia meriwayatkan kedua matan itu denagn salah satu sanad itu.
Contohnya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Maryam dari Malik dari Zuhri dari Anas secara marfu’ : “Janganlah kalian saling marah, janganlah saling dengki, janganlah saling berlomba-lomba. Dan jadilah kalian –wahai para hamba Allah-sebagai saudara-saudara”. Maka Perkataan : “janganlah saling berlomba-lomba” adalah termasuk idraj yang dilakukan oleh Sa’id bin Maryam dari matan hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Malik dari Abu Zunad dari Al A’raj dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Janganlah kalian berburuk sangka. Sesungguhnya buruk sangka itu adalah sejelek-jelek perkataan. Janganlah kalian mencari-cari (kelemahan orang lain), janganlah mematai-matai, janganlah berlomba-lomba, janganlah saling memarahi, jangan saling membelakangi. Dan jadilah kalian –wahai para hamba Allah-sebagai saudara-saudara”.
b.      Bagaimanakah Idraj itu diketahui
Idraj itu diketahui dengan salah satu dari tiga hal :
·         Dengan disebutkannya secara terpisah pada riwayat yang lain.
·         Dengan penegasan adanya idraj itu oleh rawi atau dari para imam peneliti.
·         Dengan merasakan kemustahilan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal seperti itu.
c.       Kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
·         Al Fashlu lilwashlil mudraj fin naqli karya Al Khothib Al Baghdadi.
·         Taqribul manhaj bi tartibil mudraj karya Ibnu Hajar
·         Al Mudraj ilal mudraj karya As Suyuthi
D.     MAQLUB
a.      Definisinya
Menurut Bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata : الْقَلْب  maknanya membalikkan sesuatu dari asal sebenarnya
Menurut istilah
Yaitu hadits yang terjadi pemablikan dalam sanadnya atau matannya. 
b.      Contohnya
a.       pada sanad
Seperti kesalahan yang terjadi pada beberapa rawi dalam menyebutkan nama atau nisbatnya, seperti jika dia mengatakan Ka’ab bin Murrah sebagai ganti Murrah bin Ka’ab.
b.  pada matan
Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika memerintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia, sesuai dengan kemampuan kalian”.
c.       Kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
·         Rafi’ul irtiyab fil maqlubi minal asmaa’i wal ansab karya Al Khothib
·         Jala’ul qulub fi ma’rifatil maqlub karya Ibnu Hajar


Dloi’if Karena Ditambahkan Di Dalam Sanad-Sanad Yang Bersambung
a.       Definisinya
Yaitu jika seorang rawi menambahkan seorang laki-laki atau lebih di dalam sebuah sanad yang bersambung yang tidak disebutkan oleh rawi-rawi yang lain karena kesalahan dan kealpaannya.
b.      Contohnya
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, Saya diberi cerita oleh Bisr bin Ubaidillah bahwa dia berkata : “Saya mendengar Abu Idris berkata : “Aku mendengar Watsilah bin Al Asqo’ berkata : “Aku mendengar Abu Masrtsad Al Ghanwi berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangalah kamu shalat kepadanya”. Maka penyebutan Abu Idris dalam sanad itu adalah sebuah kelalaian dan kesalahan. Kealpaan Ibnu Mubarak ini seperti yang dikatakan oleh Imam Bukhari bahwa kebanyakan ulama yang tsiqoh, diantaranya Ali bin Hajar, Al Walid bin Muslim dan Isa bin Yunus meriwayatkan hadits itu dari Bisr bin Ubaidillah dari Watsilah dan mereka tidak menyebutkan Abu Idris diantara Bisr dan Watsilah. Dan beberapa diantar mereka menegaskan bahwa Bisr mendengar langsung dari Watsilah.



c.       Kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
Tamziyul mazid fi muttashilil asaanid karya Al Khothib.

A.     MUDLTHORIB
a.      Definisinya
Menurut bahasa
Yaitu bentuk isim fa’il dari kata الاِضْطِرَاب  yang maknanya adalah perbedaan.
Menurut istilah
Yaitu hadits yang di dalamnya terdapat perbedaan dengan penggantian seorang rawi dengan rawi yang lain atau penggantian riwayat dengan riwayat yang lain atau perbedaan antara bersambung atau mursal, dengan tidak adanya tarjih antara kedua riwayat itu atas yang lain serta tidak mungkin untuk dikumpulkan antara keduanya.
b.      letaknya
Idlthirob itu dapat terjadi pada sanad atau matan. Dan kejadianya pada sanad adalah lebih banyak..
c.       Contoh Idlthirob pada sanad
Hadits Zaid bin Arqom secara marfu’  : “Sesungguhnya jamban-jamban itu telah dekat. Jika salah seorang diantara kalian memasuki jamban, maka hendaklah dia berkata : “Aku berlindung kepada Allah dari setan-setan laki-laki dan setan-setan perempuan”. Hadits ini adalah mudlthorib.
Hisyam Ad Dutuwa’i meriwayatkannya dari Qotadah dari Zaid
Sa’id bin Abi ‘Urubah dan Syu’bah meriwayatkannya dari Qotadah dari Qosim bin Auf Asy Syaibani dari Zaid
Syu’bah meriwayatkannya dari An Nadlr bin Anas dari Zaid
Ma’mar meriwayatkannya dari Qotadah dari An Nadlr bin Anas dari bapaknya
Sa’id bin Abi ‘Urubah meriwayatkannya dari Qotadah dari An nadlr bin Anas dari bapaknya.

d.      Contoh Idlthirob pada matan
Hadits Fathimah binti Qois secara marfu’ : “Sesungguhnya harta itu memiliki hak yang lain selain zakat”. Diriwayatkan oleh Turmudzi dengan lafadz ini dari hadits Al Aswad bin Amir dan Muhammad bin Thufail. Keduanya meriwayatkan dari Syuraik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’bi dari Fathimah. Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Yahya bin Adam dari Syuraik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’bi dari Fathimah secara marfu’ dengan lafadz : “Tidak ada hak pada harta selain zakat”. Al ‘Iraqi berkata : “Itlthirob ini tidak mungkin ditakwilkan”.
e.       Kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
Al Muqtarib fi bayaanil mutlthorib karya Ibnu Hajar




B.     MUSHOHHAF DAN MUHARRAF
a.      Mushohhaf menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata التَّصْحِيْفُ yang maknanya adalah kesalahan dalam membaca lembaran.
b.      Muharraf menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata التَّحْرِيْفُ  yang maknanya adalah pengubahan.
c.       Mushohhaf menurut istilah
Yaitu jika perbedaan itu ada pada pengubahan salah satu huruf dalam hadits dengan pengubahan titik tanpa merupabah tulisan.
Muharraf menurut istilah
Yaitu jika perbedaan itu ada pada pengubahan salah satu huruf dalam hadits dengan pengubahan harakat (syakal) huruf dengan tanpa mengubah tulisannya.
d.      Contoh mushohhaf
Hadits : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ  “Barangsiapa yang berpuasa pada Bulan Ramadlan dan mengikutinya dengan enam hari pada Bulan Syawwal …”. Abu Bakar Ash Shuli mentashhifnya menjadi : شَيْئًا  (dengan sesuatu hari)
e.        contoh muharraf
Jabir berkata : رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْأَحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    “Ubay dipanah pada waktu Perang Ahzab kelopak matanya, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengobatinya”. Ghobdar mentahrifnya menjadi أبِيْ  (bapakku), dengan idlafah. Tetapi sebenarnya adalah Ubay bin Ka’ab. Sedangkan bapak Jabir sudah meninggal sebelumnya, yaitu pada waktu Perang Uhud.
f.       Kejadiannya
Tahrif dan Tashhif itu dapat terjadi di matan dan sanad.
g.      Macam-macam tashhif
a.       tashihus sam’ (pada penglihatan)
Seperti jika seorang syeikh mengatakan : ‘Ashim Al Ahwal, kemudian seseorang meriwayatkanya dan mengatakan : Washil Al Ahdab.
b.      tashhiful bashor (pada pendengaran)
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahingah dari kitab Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Zaid bin Tsabit : أن رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ فِيْ الْمَسْجِدِ  (bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan bekam di masjid). Perkataannya احْتَجَمَ  adalah merupakan tashhif. Yang bernar adalah dengan ra’  : احْتَجَرَ(membuat kamar). 
h.      Kitab-kitab yang disusun tentang hal ini.
a.       At tashhif wat tahrif karya Al ‘Askari
b.      Tashifaatul muhadditsin karya Al ‘Askari
c.       Kitabut tashhif karya Ad daruquthni
d.      Ishlahu khoto’il muhadditsin



C.     SYADZ
a.      Definisinya
menurut bahasa
Yaitu bentuk isim fa’il dari شَذَّ yang maknaya adalah sendiri dan kata : ألشَّاذُ maknanya adalah orang yang menyendiri dari kebanyakan orang.
menurut istilah
Ada beberapa pendapat :
·         Orang yang tsiqoh yang riwayatnya bertentangan dengan orang yang lebih tsiqoh daripadanya.
·         Seorang yang tsiqoh yang sendirian meriwayatkan sebuah hadits.
·         Seorang rawi yang sendirian meriwayatkan hadits, baik ia seorang yang tsiqoh atau tidak, baik dia berbeda dengan oarang lain atau tidak.
b.      Syarat-syaratnya
a.       sendirian meriwayatkan hadits itu
b.      berbeda dengan orang yang lebih tsiqoh daripadanya.
c.       Letaknya
hal itu dapat terletak pada sanad dan matan hadits
d.      contohnya
a.    dalam sanad
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah, Ibnu Juraij dan Hammad bin Salamah dari Amru bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang laki-laki yang meninggal pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak meninggalkan ahli waris, kecuali walinya yang memerdekakannya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Apakah dia meninggalkan seseorang ?”. Mereka berkata : “Tidak, kecuali seorang anak yang memerdekakanya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan warisannya untuknya”.. Hammad bin Zaid berbeda riwayatnya dengan mereka. Dia meriwayatkannya dari Amru bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu Abbas. Maka haditsnya disebut hadits syadz, sedangkan hadits Ibnu Uyainah adalah hadits mahfudz.
b.      dalam matan
hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Turmudzi dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad dari Al A’masy dari Abu Sholih dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika salah seorang diantara kalian telah selesai shalat melakukan shalat sunnat dua raka’at fajar, maka hendaklah tidur miring ke kanan”. Hadits ini adalah syadz, karena Abdul Wahid bin Ziyad berbeda dengan orang-orang yang lebih tsiqoh darinya. Mereka meriwayatkannya dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sesdangkan dia meriwayatkannya dalam bentuk perintah.

1.4  KEDUDUKAN HADITS DHOIF        
Sebagaimana telah kita ketahui, tidaklah sama hal-hal yang menyebabkan hadits menjadi jatuh ke dalam hadits dla'if. Cacat hadits dla'if berbeda-beda, baik macamnya maupun berat ringannya.Oleh karena itu tingkatan (martabat) hadits dla'if juga berbeda.Dari hadits yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya, maka hadits yang paling buruk atau paling rendah martabatnya adalah hadits maudlu' dan berturut-turut hadits matruk, hadits munkar, hadits mu'allal, hadits mudraj, hadits maqlub dan seterusnya.Dari hadits-hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya, maka hadits yang paling lemah adalah hadits mu'allaq (kecuali hadits-hadits shahih yang diriwayatkan secara mu'allaq oleh Bukhari dalam kitab shahihnya), dan selanjutnya hadits mu'dlal, hadits munqathi', yang terakhir hadits mursal.
Kendati berbeda tingkatan hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if, namun hadits dla'if tetaplah hadits dla'if yang harus dipandang sebagai bukan hadits Rasulullah saw. Oleh sebab itu, para ulama sepakat untuk menolak hadits dla'if sebagai hujjah (dasar, dalil, alasan) dalam menetapkan akidah dan hukum.Para ulama memang berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memakai hadits dla'if tertentu, yang menjelaskan tentang berbagai keutamaan yang terkandung dalam suatu amal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.Sebagian ulama membolehkan karena memandang bahwa hadits tersebut dapat mendorong orang untuk lebih giat mewujudkan amal yang diperintahkan itu. Tapi sebagian lagi tidak membolehkan memakai hadits dla'if manapun, karena khawatir bahwa orang banyak akan memandang hadits dla'if yang dipakai itu sebagai hadits Rasulullah. Padahal hadits tersebut harus dipandang bukan sebagai hadits beliau
Jadi, hadits dla'if seperti halnya dengan pembicaraan manusia lainnya yang bukan Rasulullah, tidak mempunyai kedudukan sebagai sumber pokok ajaran Islam dalam semua aspeknya.

1.5  KITAB-KITAB YANG MEMUAT HADITS DHOIF
Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:
·         Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.
·         Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif
·         Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
·         Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.

1.6  HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHAIF
Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.
Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha''if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a''mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha''if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.

Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW: “Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta”. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu'' (palsu).
Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha''if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.
Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:
·         Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
·         Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah.
·         Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.






1.7  CONTOH HADITS DHOIF
Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup Selamanya
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Bekerjalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.”
·         Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini dan mereka terkecoh dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini bukanlah hadits.
·         Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfu’an (tidak ada dasarnya dari Rasulullah)
·         Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat), yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. Ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash.
Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat
Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malikkatanya:
كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ثم قال : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم و الحزن
       
Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan.” ( HR. Ibnu Sunni ,‘Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Sam’un, Al Amali, 2/176q)
  Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan: maudhu’ (palsu).
  Sanad hadits tersebut adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al ‘Ami dari Mu’awiyah, ..dst.
  Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al ‘Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al ‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan.
Hadits Keutamaan Memakai Surban
العمامة على القلنسوة فصل ما بيننا وبين المشركين يعطى يوم القيامة بكل كورة يدورها على رأسه نورا (البارودي عن ركانة
“Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk cahaya.”(Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)
        Syaikh Al Albani berkata: “Hadits ini menurutku adakah batil, karena memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah.
        Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa’ (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah, 3/362, No. 1217. Darul Ma’arif)
        Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu’ , dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebtkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718)

        Catatan:
                    Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab hadits-hadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Wallahu A’lam

مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “Dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”

4.8 MAUDLU’ (HADITS PALSU)

a.Definisinya

Menurut Bahasa adalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata الْوَضْعُ yang memiliki dua buah pengertian :

·         Mengurangi dan menjatuhkan. Dinamakan demikian karena kerendahan derajatnya

·         Melekatkan. Maka seolah-olah rawi itu melekatkan hadits itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padahal dia terbebas darinya.

Menurut istilah adalah hadits yang diabuat-buat yang diatasnamakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
b.      Contohnya
“Mernikahlah dan janganlah melakukan thalaq. Sesungguhnya thalaq itu menggoncangkan arasy”. (Al Khothib di dalam At tarikh dari hadits Amru bin Jami’ dari Juwaibir dari Adl Dlohak dari An Nizal bin Sibroh dari Ali secara marfu’. Hadits ini adalah maudlu’. Dalam sanadnya terdapat Amru bin Jami’. Dia adalah seorang yang sangat bohong (kaddzaab) seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ma’in.
Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan hadits mutawatir ialah hadits yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad.
وَاِنَّ كُلَّ مَنْ يُسَمَّى بِهَذِهِ اْلاَسْمَاءِ (محمد و احمد) لاَيَدْخُلُ النَّارَ
Artinya:
"Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad dan Ahmad) ini, tidak akan dimasukkan di neraka".
Hadits di atas bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah saw. yang menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditembus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keimanan dan amal shalih.
Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan ijma' ialah hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah saw. kepada Ali r.a. untuk menjadi khalifah yang menurut mereka bahwa shahabat bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut.

اِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِ عَلِىٍّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ بِمَحْضَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ, وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ, فَاقَامَهُ بَيْنَهُمْ حَتَّى عَرَفَهُ الْجَمِيْعُ, ثُمَّ قَالَ: هَذَا وَصِىِّ وَاَخِى وَالْخَلِيْفَةُ بَعْدِى, فَاسْمَعُوا وَاَطِيْعُوا
Artinya:
"Bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Ali bin Abi Thalib r.a. dihadapan para shahabat seluruhnya yang baru kembali dari haji Wada'. Kemudian Rasulullah membangkitkan Ali, sehingga para shahabat mengetahui semuanya. Lalu beliau bersabda: Ini adalah wasiatku (orang yang saya beri wasiat) dan saudaraku, serta khalifah setelah saya mati. Oleh karena itu, dengarlah dan taatilah".
Hadits di atas adalah maudlu', karena bertentangan dengan ijma' seluruh ummat, bahwa Rasulullah saw. tidak menetapkan (menunjuk) seorang pengganti sesudah beliau meninggal dunia.
Dari segi lafadznya, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ini ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya berlebih-lebihan. Kalau ketidak fasihan itu hanya terletak pada redaksinya saja sedang isinya tidak kacau, menurut pendapat Ibnu Hajar tidak dapat dipastikan sebagai hadits maudlu', sebab ada kemungkinan bahwa rawi hanya meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya yang ia susun sendiri kurang fasih.
Contoh hadits maudlu' dari segi lafadznya, yaitu hadits yang berisikan pahala yang sangat besar bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil):
لُقْمَةٌ فِى بَطْنِ جَائِعٍ اَفْضَلُ مِنْ بِنَاءِ اَلْفِ جَامِعٍ
Artinya:
"Sesuap makanan di perut si lapar labih baik daripada membangun seribu masjid Jami'".
مَنْ قَالَ لآ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
Artinya:
"Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ila ha illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan dan setiap lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya".
c.       Hukum meriwayatkannya
Para ulama sepakat mengharamkan meriwayatkan hadits yang maudlu’ jika dia mengetahui bahwa hadits itu adalah maudlu’. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang menceritakan dariku sesuatu yang dia tahu bahwa hal itu adalah bohong, maka dia adalah salah seorang pembohong”. (Riwayat Muslim). Baik hal itu di dalam masalah hukum dan keutamaan atau dalam hal-hal lain. Kecuali jika rawi itu menjelaskan bahwa hadits itu adalah maudlu’.
d.      Orang-orang yang membuat hadits maudlu’
Mereka berjumlah banyak yang disebutkan di dalam kitab-kitab tentang orang-orang yang dlo’if, seperti dalam kitab Mizanul I’tidal karya Adz Dzahabi, Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar.Dan Al burhan Al halbi menyebutkannya secara khusus di dalam kitab Al Kasyful Hatsits ‘amman rumiya bi wadl’il hadits.
Mereka terdiri dari beberapa golongan :
·         Orang-orang zindiq
·         Para tukang dongeng
·         Sekelompok ahli zuhud
·         Mereka yang membuat hadits untuk menguatkan madzhab mereka
·         Beberapa orang yang berusaha mendekatkan diri kepada para khalifah dan pemimpin
·         Orang-orang yang membuat hadits untuk mencela orang-orang yang hendak dicela
e.       Kitab-kitab yang disusun dalam hal ini
·         Al Maudlu’at karya Ibnul Jauzi
·         Allaa’li al mashnu’ah karya As Suyuthi
·         Tanzihusy syari’ah al marfu’ah ‘anil akhbar asy syani’ah al maudlu’ah karya Ibnu Iraq Al Kinani
·         Tadzkirotul Maudlu’at karya Muhammad bin Thahir Al Faattani
·         Al Abathil karya Al Jaurqoni
·         Al Asrar al marfu’ah fil ahadits al maudlu’ah karya Asy Syaukani
·         Al ‘Aqidah ash shohihah fil maudlu’at karya Umar bin Badr Al Masuhili
·         Ahaditsul qashshosh karya Ibnu taimiyah
·         Al ahadits adl dlo’ifah wal maudlu’ah karya Al Albani